Saturday, July 25, 2009

PKL

“Kalau di tempat lain, kalau mau menggusur PKL itu pasti gunakan satpol PP dan aparat, gebuk-gebukan. DI Solo saya ngak mau begitu. Saya tidak mau latah menangani PKL dengan gebug-gebugan.” Itulah ungkapan Joko Widodo, Walikota Solo, dalam Dialog Publik di Bentara Budaya beberapa waktu lalu (Opini Indonesia, 15 Juni 2008). Joko Widodo baru berani mengatakan akan memindahkan PKL setelah mengajak makan PKL sampai 54 kali. Alhasil, PKL bersedia dipindahkan. Bukan dengan pentungan satpol PP, namun dengan kirab prajurit keratin dan ditonton oleh 400.000 masyarakat. Sambil membawa tumpeng masing-masing para PKL pun tersenyum puas. Kini Monumen Banjarsari yang dulunya ditempati PKL sudah kelihatan, ruang hijau pun kembali berfungsi, tempat kumuh itu kini menjadi tempat rekreasi gratis anak-anak. 
Inilah secuil dari sekian banyak cerita kehidupan. Bahkan jauh sebelum itu, di Yogyakarta juga telah memberlakukan perda khusus tentang PKL. Tidak seperti biasanya, perda tadi justru lebih menguntungkan PKL dengan memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat. Tidak itu saja, PKL yang selama ini diangap sebagai sumber berbagai persoalan yang menyangkut “ketertiban”, justru dipersepsi sebagai solusi bagi kehidupan ekonomi yang belum pulih dari krisis (Kompas, 16 Desember 2002).
Dalam bukunya berjudul The Microfinance Revolution: Sustainable Finance for the Poor (2001), Robinson mengatakan bahwa munculnya pedagang kecil informal merupakan konsekuensi dari disfungsi kebijakan ekonomi. Mengacu pada pendapat ini, maka permasalahan PKL akan hilang dengan sendirinya jika program pembangunan ekonomi pemerintah mampu menghidupkan dinamika usaha kecil dan menengah, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Sehingga mengejar-ngejar, menutup dengan paksa, dan kadang disertai dengan penyitaan dan aksi kekerasan terhadap PKL, nyata-nyata bukan kebijakan yang manusiawi.
Memang tidak mudah dan perlu banyak pengorbanan untuk dapat melakukannya. Memang dibutuhkan daya dan upaya yang ekstra untuk dapat mencari solusinya. Namun itulah kondisi eksisting yang ada. Kita harus mempersiapkan diri dengan berbagai kesiapan yang diperlukan sebagai penerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa. 


No comments:

Post a Comment