Saturday, July 25, 2009

PENDIDIKAN INDONESIA DI MASA DEPAN

Sudah tidak menjadi rahasia umum jika semua kampus ke depan akan berubah status menjadi PTBHMN. Banyak wacana bersilat lidah tentang hal ini.
Perubahan status menjadi PTBHMN berarti menjadikan otonomi pendidikan tinggi sehingga akan mengurangi porsi pemerintah dalam penyediaan dana operasional perguruan tinggi, yang pada gilirannya mau tidak mau, suka tidak suka, perguruan tinggi mesti lebih kreatif dalam hal pendanaan, dan salah satu imbasnya adalah biaya yang ditanggung mahasiswa akan bertambah tinggi.
Dalam hal penerimaan mahasiswa misalnya, kini telah terjadi rekrutmen yang sangat diskriminatif. Ke depan dengan pola penerimaan mahasiswa yang seperti ini, maka hanya mereka yang punya uang banyak yang bisa masuk perguruan tinggi. Bagaimana mungkin orang-orang pembuat kebijakan menambahkan lagi satu jenis seleksi penerimaan calon mahasiswa: Seleksi Keuangan. Bagaimana mungkin pemerintah merumuskan kebijakan yang akan melabrak UU No. 20 tahun pasal 11 (1) yang bunyinya: “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Ya, seleksi keuangan adalah bentuk diskriminasi. Atau bila kita merujuk pada pasal lima: “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”
Selain itu, PTBHMN akan menjadikan iklim komersialisasi dan industralisasi kampus. Dengan alasan optimalisasi aset-aset pendidikan, orientasi perguruan tinggi kini tidak lagi pada akademik, tapi lebih pada bagaimana mencari atau memanfaatkan aset di kampus untuk didayagunakan semaksimal mungkin agar mendatangkan uang, sehingga pesan yang ingin dicapai didalam PTBHMN untuk otonomi kampus tidak terjadi, yang terjadi justru privatisasi kampus.
Salah satu implikasi dari hal ini adalah masuknya sponsor rokok dalam kampus. Kampus sebagai wahana berkrekspresi mahasiswa dalam berbagai kegiatan seringkali memerlukan dana besar dalam setiap pelaksanaan, sehingga ketika ada sponsor yang berani menawarkan dana besar pastilah menjadi sesuatu yang menggiruakan bagi mahasiswa. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, dengan berbagai strateginya perusahaan rokok bermodal besar siap mendukung berbagai kegiatan yang diajukan kepada mereka.
Namun, di dalam kampus, industri rokok tidak lagi mengindahkan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah, yaitu PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Di dalam peraturan tersebut, tepatnya pasal 22 secara jelas dinyatakan bahwa institusi pendidikan adalah kawasan tanpa rokok. Dimana pada pasal 1 poin 11 yang dimaksud kawasan tanpa rokok: …adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi dan/atau penggunaan rokok. Jadi amatlah jelas, bahwa industri rokok telah melanggar peraturan. Contoh pelanggaran tersebut terbukti dengan berbarisnya umbul-umbul berlogokan produk rokok sebagai pihak sponsor sepanjang jalan kampus kita saat ini.
Mari sedikit kita tilik hal ihwal terkait rokok di Indonesia. Indonesia termasuk negara peringkat kelima di dunia dalam mengonsumsi rokok. Dimana 31,4 % penduduknya, sekitar 62.800.000 adalah perokok. Sementara, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 59,04 % laki-laki perokok dan 4,83 % perempuan perokok. Jumlah perokok pun terus meningkat, bererdasarkan survei sosial ekonomi nasional (susenas), pada 2001 persentase jumlah penduduk Indonesia yang merokok 31,8 %, tahun 2003 meningkat menjadi 32 % dan pada 2004 menjadi 34,5 %. Dan yang lebih mencengangkan adalah hasil prediksi jumlah rokok yang dikonsumsi menurut media warta ekonomi, yaitu sebesar 215,53 miliar batang pada tahun 2006.
Sebagai mahasiswa kita harus mampu mengembangkan pemikiran-pemikiran yang positif tidak hanya melihat dari satu perspektif saja. Mari kita tingkatkan kemampuan untuk bekal masa depan kita. Kita berikan yang terbaik untuk kampus kita.

No comments:

Post a Comment