Saturday, July 25, 2009

PKL

“Kalau di tempat lain, kalau mau menggusur PKL itu pasti gunakan satpol PP dan aparat, gebuk-gebukan. DI Solo saya ngak mau begitu. Saya tidak mau latah menangani PKL dengan gebug-gebugan.” Itulah ungkapan Joko Widodo, Walikota Solo, dalam Dialog Publik di Bentara Budaya beberapa waktu lalu (Opini Indonesia, 15 Juni 2008). Joko Widodo baru berani mengatakan akan memindahkan PKL setelah mengajak makan PKL sampai 54 kali. Alhasil, PKL bersedia dipindahkan. Bukan dengan pentungan satpol PP, namun dengan kirab prajurit keratin dan ditonton oleh 400.000 masyarakat. Sambil membawa tumpeng masing-masing para PKL pun tersenyum puas. Kini Monumen Banjarsari yang dulunya ditempati PKL sudah kelihatan, ruang hijau pun kembali berfungsi, tempat kumuh itu kini menjadi tempat rekreasi gratis anak-anak. 
Inilah secuil dari sekian banyak cerita kehidupan. Bahkan jauh sebelum itu, di Yogyakarta juga telah memberlakukan perda khusus tentang PKL. Tidak seperti biasanya, perda tadi justru lebih menguntungkan PKL dengan memberikan perlindungan hukum yang lebih kuat. Tidak itu saja, PKL yang selama ini diangap sebagai sumber berbagai persoalan yang menyangkut “ketertiban”, justru dipersepsi sebagai solusi bagi kehidupan ekonomi yang belum pulih dari krisis (Kompas, 16 Desember 2002).
Dalam bukunya berjudul The Microfinance Revolution: Sustainable Finance for the Poor (2001), Robinson mengatakan bahwa munculnya pedagang kecil informal merupakan konsekuensi dari disfungsi kebijakan ekonomi. Mengacu pada pendapat ini, maka permasalahan PKL akan hilang dengan sendirinya jika program pembangunan ekonomi pemerintah mampu menghidupkan dinamika usaha kecil dan menengah, sekaligus menciptakan lapangan kerja yang lebih luas. Sehingga mengejar-ngejar, menutup dengan paksa, dan kadang disertai dengan penyitaan dan aksi kekerasan terhadap PKL, nyata-nyata bukan kebijakan yang manusiawi.
Memang tidak mudah dan perlu banyak pengorbanan untuk dapat melakukannya. Memang dibutuhkan daya dan upaya yang ekstra untuk dapat mencari solusinya. Namun itulah kondisi eksisting yang ada. Kita harus mempersiapkan diri dengan berbagai kesiapan yang diperlukan sebagai penerima tongkat estafet kepemimpinan bangsa. 


KADO ISTIMEWA UNTUK HMPL-ITS

Kado, identik sebagai bentuk rasa syukur yang diberikan seseorang kepada orang yang dicintainya. Bukan sekedar hanya memberi. Tentu ada yang istemewa. Begitu pula ada yang istemewa pada tanggal 13 Maret 2009 ini. Ya. Tepat telah genap berusia lima tahun HMPL. Atas perjuangan keras para pendahulu kita -PL 01- sehingga lahir HMPL di jajaran ormawa ITS. 
Menilik sejarah pertumbuhan hidup manusia, usia empat tahun baru menginjak masa merangkak, masih cengeng dan selalu merepotkan kedua orang tua. Tidak dengan HMPL. Sebuah langkah fenomenal telah mampu ditunjukkannya, sebagai eksistensi dan jati diri yang turut menghantarkan dinamisasi dan masifitas ormawa ITS. HMPL telah mampu membuat gebrakan, breaking the wall, yang ditunjukkannya berakar dari pemahamannya akan keterbatasan yang dimilikinya kemudian mendobraknya dengan keyakinan bahwa segala sesuatu di dunia ini tidak ada yang mustahil. Usia bukan merupakan sangkar yang selalu menghalangi burung untuk terbang. Bukan pula tembok tinggi dan tebal yang sulit kita melaluinya. 
Pergantian siang dan malam selalu setia menemani jalan panjang HMPL. Goresan-goresan peristiwa menyatu padu membantuk ukiran sejarah HMPL. HMJ yang notabene eksekutif jurusan merupakan wadah aspiratif dan koordinatif mahasiswa jurusan (Mubes 3. red). Mengacu Anggaran Dasar HMPL, tujuan luhur dibentuknya HMPL sebagai wadah pengembangan potensi mahasiswa yang aspiratif, partisipatif, dan demokratis dengan menjunjung tinggi nilai kekeluargaan dalam rangka pembangunan manusia Indonesia. Kalau boleh menyimpulkan, HMPL merupakan wadah perserikatan, pertautan hati, dan persaudaraan diantara kita semua. 
HMPL adalah jembatan diantara cita-cita yang menjulang dan kemampuan yang kita miliki. Kemampuan yang kita miliki merupakan realitas-realitas yang berakar pada cara kita berpikir. Pikiran adalah cermin besar yang memantulkan seluruh potret realitas kita secara apa adanya. Pikiran adalah space of possibility, dan realitas adalah space of action. Disinilah letak kebersamaan kita. Bagaimana kita meramu kemampuan masing-masing dari kita untuk mencapai tujuan besar HMPL. Dari sebuah kebersamaan akan lahir perubahan.

TEKANAN

Tidak ada orang yang senang dengan tekanan. Rakyat, pemerintah, aktivis, atau pahlawan tidak akan senang dengan tekanan. Tekanan senantiasa akan terus melekat pada diri manusia. Ketika kita berfikir jauh, maka tekanan akan memberikan sesuatu yang lebih pada diri kita. Tekanan akan membuat seseorang lebih imun dalam menghadapi kehidupan.
Pohon jati yang unggul bukanlah pohon jati yang berada di pekarangan rumah, atau bahkan di dalam pot bunga. Namun pohon jati yang unggul adalah pohon jati yang berada di hutan belantara. Dimana di dalam hutan belantara sering terjadi hujan deras, angin ribut, serta badai, yang sewaktu-waktu dapat merusak dan menghancurkan pohon jati tersebut. Anehnya, justru di dalam hutan belantaralah banyak dijumpai pohon jati yang unggul. Itulah saudaraku, semakin sering kita menghadapi tekanan seharusnya semakin dewasa dan kuat kita dalam menghadapi kehidupan ini. Bukan sebaliknya, kita semakin kerdil dan akhirnya akan hancur binasa. 
Untuk menjadi semakin dewasa dan kuat karena adanya tekanan yang terus menerpa diri kita, kita harus memiliki daya tahan dalam menghadapi tekanan. Pernah saya mendengar cerita dari negeri seribu dewa Yunani. Suatu ketika Socrates didatangi oleh pemuda untuk belajar kepadanya. Kemudian Socrates mengajak pemuda tersebut ke danau. Sampai di pinggir danau, Socrates tiba-tiba memegang kepala pemuda dan menjeburkannya ke dalam danau. Beberapa waktu setelah pemuda tidak tahan lagi, akhirnya diangkatlah kepala pemuda dan ditanyai apa arti kesuksesan menurutmu? “Ketika saya dapat bernafas lagi di udara” jawab pemuda. Kemudian Socrates berkata, ”kesuksesan adalah ketika kamu mampu bertahan di dalam air.” Itulah Saudaraku, daya tahan mampu merubah tekanan yang sering menerpa kita menjadi kedewasaan dan kekuatan dalam menghadapi kehidupan.
Yang terakhir, Sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.

PENDIDIKAN INDONESIA DI MASA DEPAN

Sudah tidak menjadi rahasia umum jika semua kampus ke depan akan berubah status menjadi PTBHMN. Banyak wacana bersilat lidah tentang hal ini.
Perubahan status menjadi PTBHMN berarti menjadikan otonomi pendidikan tinggi sehingga akan mengurangi porsi pemerintah dalam penyediaan dana operasional perguruan tinggi, yang pada gilirannya mau tidak mau, suka tidak suka, perguruan tinggi mesti lebih kreatif dalam hal pendanaan, dan salah satu imbasnya adalah biaya yang ditanggung mahasiswa akan bertambah tinggi.
Dalam hal penerimaan mahasiswa misalnya, kini telah terjadi rekrutmen yang sangat diskriminatif. Ke depan dengan pola penerimaan mahasiswa yang seperti ini, maka hanya mereka yang punya uang banyak yang bisa masuk perguruan tinggi. Bagaimana mungkin orang-orang pembuat kebijakan menambahkan lagi satu jenis seleksi penerimaan calon mahasiswa: Seleksi Keuangan. Bagaimana mungkin pemerintah merumuskan kebijakan yang akan melabrak UU No. 20 tahun pasal 11 (1) yang bunyinya: “Pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Ya, seleksi keuangan adalah bentuk diskriminasi. Atau bila kita merujuk pada pasal lima: “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.”
Selain itu, PTBHMN akan menjadikan iklim komersialisasi dan industralisasi kampus. Dengan alasan optimalisasi aset-aset pendidikan, orientasi perguruan tinggi kini tidak lagi pada akademik, tapi lebih pada bagaimana mencari atau memanfaatkan aset di kampus untuk didayagunakan semaksimal mungkin agar mendatangkan uang, sehingga pesan yang ingin dicapai didalam PTBHMN untuk otonomi kampus tidak terjadi, yang terjadi justru privatisasi kampus.
Salah satu implikasi dari hal ini adalah masuknya sponsor rokok dalam kampus. Kampus sebagai wahana berkrekspresi mahasiswa dalam berbagai kegiatan seringkali memerlukan dana besar dalam setiap pelaksanaan, sehingga ketika ada sponsor yang berani menawarkan dana besar pastilah menjadi sesuatu yang menggiruakan bagi mahasiswa. Oleh karena itu tidaklah mengherankan, dengan berbagai strateginya perusahaan rokok bermodal besar siap mendukung berbagai kegiatan yang diajukan kepada mereka.
Namun, di dalam kampus, industri rokok tidak lagi mengindahkan peraturan yang telah dibuat oleh pemerintah, yaitu PP No. 19 Tahun 2003 tentang Pengamanan Rokok bagi Kesehatan. Di dalam peraturan tersebut, tepatnya pasal 22 secara jelas dinyatakan bahwa institusi pendidikan adalah kawasan tanpa rokok. Dimana pada pasal 1 poin 11 yang dimaksud kawasan tanpa rokok: …adalah ruangan atau area yang dinyatakan dilarang untuk kegiatan produksi, penjualan, iklan, promosi dan/atau penggunaan rokok. Jadi amatlah jelas, bahwa industri rokok telah melanggar peraturan. Contoh pelanggaran tersebut terbukti dengan berbarisnya umbul-umbul berlogokan produk rokok sebagai pihak sponsor sepanjang jalan kampus kita saat ini.
Mari sedikit kita tilik hal ihwal terkait rokok di Indonesia. Indonesia termasuk negara peringkat kelima di dunia dalam mengonsumsi rokok. Dimana 31,4 % penduduknya, sekitar 62.800.000 adalah perokok. Sementara, berdasarkan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) 59,04 % laki-laki perokok dan 4,83 % perempuan perokok. Jumlah perokok pun terus meningkat, bererdasarkan survei sosial ekonomi nasional (susenas), pada 2001 persentase jumlah penduduk Indonesia yang merokok 31,8 %, tahun 2003 meningkat menjadi 32 % dan pada 2004 menjadi 34,5 %. Dan yang lebih mencengangkan adalah hasil prediksi jumlah rokok yang dikonsumsi menurut media warta ekonomi, yaitu sebesar 215,53 miliar batang pada tahun 2006.
Sebagai mahasiswa kita harus mampu mengembangkan pemikiran-pemikiran yang positif tidak hanya melihat dari satu perspektif saja. Mari kita tingkatkan kemampuan untuk bekal masa depan kita. Kita berikan yang terbaik untuk kampus kita.

PENJUALAN ASET NEGARA ADALAH KEBIJAKAN YANG TIDAK TEPAT

Masalah besar Indonesia yang senantiasa bergejolak dalam pikiran saya adalah mengapa kita terus saja miskin, terbelakang dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa lainnya. Setiap ahli atau tokoh barangkali menemukan jawaban yang berlaianan sesuai dengan latar belakang dan pengalaman masing-masing. Setiap jawaban pasti mengandung unsur-unsur kebenaran dan semuanya harus diapresiasi. 
Bangsa Indonesia, yang konon katanya gemah ripah loh jinawi ini, agaknya sedang mengalami krisis jati diri yang ditandai dengan maraknya penjualan aset negara atau yang akrab dikenal dengan nama privatisasi. Mari kita tengok fakta-fakta privatisasi yang telah banyak menggerogoti bangsa ini. Berdasarkan Wibowo (2006), privatisasi terjadi pada berbagai sektor, diantaranya sektor telekomunikasi dan pertambangan. 
Privatisasi yang paling menghebohkan di sektor telekomunikasi adalah kasus PT Indosat Tbk, pada tahun 2002 yang dijual kepada sebuah perusahaan Singapura, yaitu Singapore Technologies and Telemedia sebesar 42% kepemilikan. SingTel sebagai anak perusahaan Temasek juga telah meguasai 35% saham penyelenggara selular Telkomsel. STT bersama SingTel adalah anak perusahaan yang bernaung di bawah perusahaan milik Pemerintah Singapura, yakni Temasek Holding (Pte)Ltd. Artinya Singapura telah memonopoli bisnis selular di Indonesia. Lewat penguasaan udara itu, kita praktis sudah dijajah Singapura, karena hampir semua pembicaraan telepon, faks, handphone, dan pengiriman data lainnya harus melalui satelit yang sudah dikuasai Singapura itu (Marwan dalam Farhan, 2006).
Privatisasi juga menjangkiti sektor pertambangan. Privatisasi yang tidak kalah dahsyatnya pada sektor ini adalah pemberian hak pengoperasian Blok Cepu kepada Exxon Mobil, bukannya Pertamina, padahal Ikatan Sarjana Geologi Indonesia sudah menyatakan bahwa mereka lebih dari mampu untuk menjadi operator tambang minyak tersebut. (Rais, 2008). Penguasaan perusahaan asing terhadap pertambangan Indonesia hanya untuk mengeruk keuntungan tanpa memperhatikan masyarakat dan lingkungan ekologi. Lihat saja, Pegunungan Grasberg di Papua sudah habis dikuras dan sekarang sudah jadi cekungan. Perusahaan Freeport McMoran tersebut pada 2002, menurut company profile-nya, mencapai rekor volume penjualan tembaga sebesar 1.5 pound net; 2,3 juta ounce emas, dan mengapalkan rata-rata 2,8 juta metrik ton/tahun. Berdasarkan Rais (2008) ketika kontrak pengandalian operasi Freeport berakhir tahun 2041, kita tinggal memikul kehancuran ekologi. Sementara rakyat Papua mengais-ngais sisa-sisa makanan di tempat sampah besar di luar komplek. Anak-anak mereka tidak bisa sekolah karena miskin. Belum kita bicara soal gizi buruk dan busung lapar (Farhan, 2006). 
Selain itu, PT Newmont Minahasa sudah mengeduk hasil tambang emas di Buyat dan meninggalkan penderitaan berbagai penyakit pada penduduk kampung daerah tesebut. Newmont juga sudah mulai mengelola tanah-tanah pertambangan di Sumatera Utara lewat anak perusahaannya, PT Newmont Pacific Nusantara. Ketimpangan sosial juga terjadi di dalam komplek. Bukan kesejahteraan rakyat yang terjadi, justru ketimpangan sosial. Orang-orang bule tinggal di rumah-rumah yang lebih lux dan makan di kantin-kantin yang khusus untuk mereka. Orang Indonesia cukup gembira makan di kantin sendiri, tidak boleh makan di kantin pekerja asing kecuali ada yang secara khusus mengundang mereka makan di sana. Mereka menjad warganegara kelas dua di negeri sendiri dan pemerintah membiarkan hal itu terjadi.
Wacana privatisasi sebenarnya telah muncul pasca Orde Baru tumbang (Supadiyanto, 2007). Auranya kian menjadi realitas sosial dan politik seiring dengan pergantian presiden di negeri ini. Mulai dari pemerintahan zaman Presiden Habibie menuju Gus Dur, juga pernah menggulirkan kebijakan privatisasi. Tak luput pula, pemerintahan yang dipimpin oleh Megawati dan kini SBY-pun menerapkan kebijakan sama. Yang bisa ditengarai selama ini, privatisasi hanya sebagai penjualan aset negara pada pihak asing. Pemerintah tampak mendapatkan untung sebentar saja, namun mesti menangguk kerugian yang berkepanjangan.
Privatisasi hanya sebagai alat bagi agen liberalisme dan globalisasi (negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional pemilik modal) dalam mempertahankan hegemoninya atas negara-negara berkembang dan terbelakang. Modal asing justru hanya menimbulkan ketergantungan negara penerimanya terhadap negara donor. Setelah terjadi ketergantungan, negara donor bisa memaksakan berbagai ketentuan yang hanya menguntungkan pihaknya, seperti keharusan membuka pasar atau mengadopsi sistem ekonomi dan politik tertentu. Singkat kata, modal asing dipandang akan membahayakan kepentingan nasional.
Indonesia sebagai negara yang kaya raya sumber daya alam seharusnya lebih berhasil dalam membangun masa depannya. Meminjam perkataan Stiglitz dalam Rais (2008), yang diperlukan negara berkembang bukanlah bantuan atau hutang asing, namun pengelolaan kekayaan alam dan uang yang mereka miliki dengan cara yang benar. 
Botswana merupakan contoh negara berkembang yang dapat berhasil mengelola tambang permata untuk kesejahteraan rakyatnya. Ekonomi Botswana tumbuh 9% dalam 30 tahun terakhir. Negara di Benua Afrika ini berhasil melindungi kekayaan tambangnya dan mampu mengelolanya dengan cerdas dan baik tanpa privatisasi. Malaysia juga merupakan negara yang berhasil memanfaatkan kekayaan alam. Malaysia berhasil bergabung dengan jajaran negara industri baru berkat penganganan sumber daya alam secara cerdas dan baik. Sebagaimana juga India, Malaysia, China, Norwegia, Australia, Venezuela, dan negara cerdas lainnya, yang kaya sumber daya alam dan berhasil mengelolanya tanpa privatisasi. 
Bagi Indonesia, mengingat praktik privatisasi selama ini begitu menguntungkan korporasi asing dan sangat merugikan negara sendiri maka harus segera menyiapkan agenda baru. Ini adalah urusan masa depan bangsa, yaitu nasionalisasi aset negara dan peningkatan capacity and character building. Di Malaysia, Brazil, Chile dan Norwegia misalnya, pertambangan yang digarap sendiri oleh pemerintah ternyata mendatangkan keuntungan lebih besar dibanding bila diberikan kepada korporasi asing atau diprivatisasi. Memang tidak mudah untuk mengelola kekayaan alam yang begitu melimpah di negeri ini. Oleh karena itu, perlu peningkatan capacity and character building rakyat Indonesia sebagai operator yang akan mengelola seluruh kekayaan alamnya sendiri. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengembangan sektor pendidikan, kesehatan, serta sektor kehidupan lainnya. Semoga fakta-fakta privatisasi yang telah banyak merugikan bangsa tersebut dapat menggunggah Indonesia dari kelelapan tidur panjangnya.

KEMISKINAN BEGITU AKRAB MENYAPA BANGSA KITA

Dalam sebuah negara yang sedang berkembang, seperti Bangsa Indonesia, banyak sekali permasalahan-permasalahan yang sangat komplek untuk ditangani yang terkadang hal ini menjadi sebuah penghambat bagi perkembangan negara untuk maju menuju tahap selanjutnya. Salah satu permasalahan yang menjadi prioritas perhatian dari pemerintah adalah kemiskinan.
Bank Dunia mempublikasikan bahwa tahun 2007 terdapat sebanyak 110 juta jumlah rakyat miskin di Indonesia, atau 49,5 % dari jumlah penduduk Indonesia yang sekarang ini terhitung 225 juta penduduk (Riyanto, 2007). Akan tetapi, data dari BPS yang disampaikan oleh Deputi Statistik Sosial Dr. Rusman Heriawan (2007) menyatakan, diperkirakan jumlah orang miskin tahun 2007 yakni 36 juta orang. Artinya, jumlah orang miskin di Indonesia hanya 16,5 % dari jumlah penduduk (Riyanto, 2007). 
Memang ada perbedaan yang mencolok antara Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Namun yang menjadi perhatian adalah secara absolut jumlah penduduk miskin masih relatif besar. Hal yang menyedihkan, suara jutaan jiwa orang miskin tersebut tidak terartikulasikan di ruang publik, terutama di media massa, yang umumnya didominasi oleh artikulasi elite negara, pengusaha, dan politisi. Kaum miskin itu adalah kekuatan yang membisu.
Beban masyarakat miskin merupakan tanggung jawab negara. Pernyataan tanggung jawab terhadap kemiskinan salah satunya tertuang dalam Millenium Development Goals (MDG’s). Bahkan jauh-jauh hari Piagam Hak-hak Asasi Manusia 1948 telah mengumandangkan hak dasar manusia untuk hidup dan hak bebas, termasuk bebas dari kelaparan, kemiskinan, dan ketakutan. Dalam konteks Indonesia, kemiskinan merupakan tanggung jawab konstitusional negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 Undang-undang Dasar 1945.
Masyarakat merasa bahwa negara tidak bertanggung jawab atas nasib warganya. Padahal tugas itu sebagai mandat tertuang dalam konstitusi. Kefrustasian yang menimpa masyarakat selalu dikembalikan sebagai problem individual. Sebuah karakter dan cara kerja kapitalistik yang mengabaikan ikatan kolektivitas. Ketika warga negara menuntut haknya dengan cara-cara yang tidak sesuai kepentingan penguasa, dianggap pembangkangan dan tidak konstitusional. Bahkan dianggap subversif, separatis, tidak nasionalis, dan stigma lainnya.
Sebuah keanehan, jika tiba-tiba saja banyak penguasa resah soal nasionalisme ke-Indonesia-an ketika ada pengibaran bendera sekelompok masyarakat di beberapa daerah, atau beragam gejolak yang menuntut keadilan, serta berbagai bentuk protes atas masalah kebangsaan ini. Fenomena itu padahal sebuah bentuk simbolisme, ekspresi protes atas struktur hubungan pusat dan daerah. Jika ditelusur gejala semacam itu tidak lain merupakan reaksi atau akibat-akibat semata dari problem-problem dasar lainnya.
Tidak sulit berkesimpulan bahwa krisis nasionalisme negeri ini justru berasal dari gagalnya negara membangun ikatan nilai kebersamaan yang ditunjukkan dalam kebijakan bernegara yang buruk. Itulah tali kait antara krisis nasionalisme dengan problem kemiskinan rakyat. Reformasi yang hampir berusia satu dekade ini sesungguhnya cukup untuk merefleksikan ulang, bagaimana bangsa ini menjalankan mandat memenuhi kesejahteraan. Hanya saja itu tidak dilakukan, dan menganggap segala bentuk protes sosial yang bersumber kebijakan struktural dialirkan pada pudarnya sikap dan semangat nasionalisme warga, atau pelabelan separatisme.
Bangsa Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam namun justru kebanyakan berpenduduk miskin. Dengan kekayaan alamnya, Indonesia seharusnya lebih berhasil dalam membangun masa depannya. Paradoks ini merupakan hasil dari sesuatu yang salah. Menurut Stiglitz dalam Rais (2008), negara-negara barat telah mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia yang tidak berkaitan dengan upaya kemakmuran dari negara yang menjadi tuan rumah. Mudah dimaklumi bila berbagai korporasi barat hanya memikirkan keuntungan untuk mereka sendiri, tanpa menaruh perhatian terhadap proses pemiskinan yang terjadi di Indonesia. Keadaan seperti ini karena Indonesia terjebak dalam sistem globalisasi. Pada akhirnya memang terpulang pada Bangsa Indonesia untuk memperjuangkan nasibnya sendiri dalam proses globalisasi yang ganas.  
Berdasarkan Chomsky dalam Rais (2008), globalisasi yang tidak memperhatikan hak-hak rakyat (masyarakat) sangat mungkin merosot terjerembab ke dalam bentuk tirani, yang dapat bersifat oligarkis dan oligopolistis. Globalisasi semacam ini didasarkan atas konsentrasi kekuasaan gabungan negara dan swasta yang secara umum tidak bertanggung jawab pada publik. Kesenjangan sosial ekonomi di jaman globalisasi adalah sebuah kejahatan yang sempurna.
Bentuk penjajahan globalisasi terhadap Indonesia antara lain penjualan aset strategis bangsa (privatisasi) kepada korporasi asing, serta hutang luar negeri, sehingga menjebak Indonesia dalam kubangan kemiskinan. Privatisasi yang paling menghebohkan di sektor telekomunikasi adalah kasus PT Indosat Tbk, pada tahun 2002 yang dijual kepada sebuah perusahaan Singapura, yaitu Singapore Technologies and Telemedia sebesar 42% kepemilikan. SingTel sebagai anak perusahaan Temasek juga telah meguasai 35% saham penyelenggara selular Telkomsel. STT bersama SingTel adalah anak perusahaan yang bernaung di bawah perusahaan milik Pemerintah Singapura, yakni Temasek Holding (Pte)Ltd. Artinya Singapura telah memonopoli bisnis selular di Indonesia. Lewat penguasaan udara itu, kita praktis sudah dijajah Singapura, karena hampir semua pembicaraan telepon, faks, handphone, dan pengiriman data lainnya harus melalui satelit yang sudah dikuasai Singapura itu (Marwan dalam Farhan, 2006).
Privatisasi juga menjangkiti sektor pertambangan. Privatisasi yang tidak kalah dahsyatnya pada sektor ini adalah pemberian hak pengoperasian Blok Cepu kepada Exxon Mobil, bukannya Pertamina, padahal Ikatan Sarjana Geologi Indonesia sudah menyatakan bahwa mereka lebih dari mampu untuk menjadi operator tambang minyak tersebut. (Rais, 2008). Penguasaan perusahaan asing terhadap pertambangan Indonesia hanya untuk mengeruk keuntungan tanpa memperhatikan masyarakat dan lingkungan ekologi. Lihat saja, Pegunungan Grasberg di Papua sudah habis dikuras dan sekarang sudah jadi cekungan. Perusahaan Freeport McMoran tersebut pada 2002, menurut company profile-nya, mencapai rekor volume penjualan tembaga sebesar 1.5 pound net; 2,3 juta ounce emas, dan mengapalkan rata-rata 2,8 juta metrik ton/tahun. Berdasarkan Rais (2008) ketika kontrak pengandalian operasi Freeport berakhir tahun 2041, kita tinggal memikul kehancuran ekologi. Sementara rakyat Papua mengais-ngais sisa-sisa makanan di tempat sampah besar di luar komplek. Anak-anak mereka tidak bisa sekolah karena miskin. Belum kita bicara soal gizi buruk dan busung lapar (Farhan, 2006). 
Dalam urusan hutang luar negeri, setiap tahunnya negara menanggung pembayaran beban hutang baik pokok dan bunganya hampir mencapai 30% dari total APBN. Berdasarkan Pattilo, Pairson dan Ricci dalam Pratama (2006), menemukan hubungan yang negatif antara hutang dengan tingkat pendapatan perkapita. Tingginya level hutang dapat menyebabkan berkurangnya sumber daya yang dapat dialokasikan untuk kepentingan investasi yang dapat memperbaiki kinerja ekspor.
Indonesia pada tahun 2005, memiliki rasio utang terhadap PDB sebesar 45,63% (Pratama, 2006). Dengan berlandaskan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Pattilo dkk, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa utang luar negeri mempunyai dampak yang kurang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dengan kondisi tersebut, penyediaan sarana dan prasarana publik pun menjadi terkendala. Betapa tidak, untuk tahun fiskal 2006 saja, 48.70% PPh dan PPn (Rp 210.71 T+ Rp 128.31 T=Rp 339.02 T) yang dibebankan ke pundak masyarakat, habis untuk membayar hutang pemerintah (Pratama, 2006). Hal ini menjadi sebuah hal yang ironis mengingat salah satu fungsi utama pajak adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang-barang kebutuhan publik.
Indonesia sebagai negara yang kaya raya sumber daya alam seharusnya lebih berhasil dalam membangun masa depannya. Meminjam perkataan Stiglitz dalam Rais (2008), yang diperlukan negara berkembang bukanlah bantuan atau hutang asing, namun pengelolaan kekayaan alam dan uang yang mereka miliki dengan cara yang benar. Kelunturan nasionalisme bisa diatasi asal ada perbaikan kondisi sosial ekonomi dengan mengurangi kemiskinan dari masyarakat bawah yang jumlahnya 10,9 juta orang (Sudarsono, 2008).
Oleh karena itu, nasionalisme jika diinterpretasikan dalam dinamika dan proses perubahan, sudah semestinya menterjemahkan secara kritis ikatan-ikatan dan konsensus historik yang telah dirintis para pemimpin masa lalu itu dalam praktek bernegara. Reproduksi nasionalisme tidak lagi berpangku pada nalar ortodoks, melandaskan keyakinan masa lalu semata tanpa kejernihan berfikir. Dengan demikian yang perlu dilakukan justru menafsirkan ulang spirit dan nilai nasionalisme itu menggunakan nalar publik yang sudah berubah dari sisi ruang, waktu, tantangan dan masalah yang dihadapi. Hal semacam itu jauh lebih penting dari sekadar mempertebal doktrin klasik, tetapi pada saat bersamaan mengalami kekeroposan dan erosi. Nasionalisme yang masih dikurung dalam sangkar pemahaman doktrin klasik, menyebabkan nasionalisme menjadi beban dibandingkan sebagai nilai dan modal persatuan bangsa untuk masa depan.
Sebagai solusi kelunturan nasionalisme adalah membangun kesadaran kolektif ke-Indonesia-an sebagai bangsa dilandasi oleh ikatan ideologis dengan mendasarkan pada konsep kelas negara dunia ketiga. Ancaman nasionalisme dan integrasi bangsa Indonesia sebagai negara dunia ketiga adalah, ketika negara mengabaikan problem-problem struktural masyarakat akibat terlalu melayani kemauan kaum borjuasi internasional. Itulah bibit-bibit terjadinya disintegrasi bangsa. Secara praktis, kita perlu melawan sekaligus menghentikan bermacam tindakan penguasa, yang seolah mewakili negara dengan dalih konsitusional, ternyata menggadaikan kekayaan negeri ini (sebagai bagian kekuatan bangsa) pada kaum kapitalis internasional melalui globalisasi. Makin hilangnya sumber daya alam ini yang dieksploitasi mengakibatkan ketidakadilan, marginalisasi berlangsung secara terus-menerus. Semua itu membuat bangsa ini makin carut-marut dan krisis berkepanjangan. Inlah tantangan serius, akar struktural mengapa krisis nasionalisme terjadi di negeri ini. 
Bagi Indonesia, mengingat praktik privatisasi dan hutang luar negeri selama ini begitu menguntungkan korporasi asing dan sangat merugikan negara sendiri maka harus segera menyiapkan agenda baru. Ini adalah urusan masa depan bangsa, yaitu nasionalisasi aset negara, hentikan hutang luar negeri, dan peningkatan capacity and character building. Memang tidak mudah untuk mengelola kekayaan alam yang begitu melimpah di negeri ini. Oleh karena itu, perlu peningkatan capacity and character building rakyat Indonesia sebagai operator yang akan mengelola seluruh kekayaan alamnya sendiri. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengembangan sektor pendidikan, kesehatan, serta sektor kehidupan lainnya. Jelaslah bahwa program pengentasan kemiskinan untuk menyegarkan rasa nasionalisme kebangsaan memerlukan waktu yang panjang dan jalan yang berliku.
Indonesia harus segera keluar dari kungkungan pemahaman keliru terhadap globalisasi. Kelemahan ini menyebabkan seluruh jurus globalisasi seperti yang difatwakan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO ditelan semuanya oleh Bangsa Indonesia tanpa daya dan nalar kritis yang diperlukan. Bukti-bukti memperlihatkan bahwa banyak negara berkembang, liberalisasi modal, pasar keuangan tidak menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, tetapi bahkan mencapai ketidakstabilan. India dan China yang pertumbuhan ekonominya tinggi terhindar dari krisis Asia tahun 1997 tanpa melakukan liberalisasi (Stiglitz dalam Rais, 2008). 
Botswana merupakan contoh negara berkembang yang dapat berhasil mengelola tambang permata untuk kesejahteraan rakyatnya. Ekonomi Botswana tumbuh 9% dalam 30 tahun terakhir. Negara di Benua Afrika ini berhasil melindungi kekayaan tambangnya dan mampu mengelolanya dengan cerdas dan baik tanpa privatisasi. Malaysia juga merupakan negara yang berhasil memanfaatkan kekayaan alam. Malaysia berhasil bergabung dengan jajaran negara industri baru berkat penganganan sumber daya alam secara cerdas dan baik. Sebagaimana juga India, Malaysia, China, Norwegia, Australia, Venezuela, dan negara cerdas lainnya, yang kaya sumber daya alam dan berhasil mengelolanya tanpa privatisasi dan hutang luar negeri. 
Permasalahan kemiskinan pada dasarnya juga mempunyai kaitan yang erat dengan besar kecilnya arus modal yang masuk ke Indonesia. Oleh karenanya, seperti diungkapkan oleh Ragnar Nurske lewat bukunya "The Capital Accumulation In The Less Developed Countries (1953)" dalam Pratama (2006), tujuan utama pembangunan ekonomi memang harus melalui peningkatan pendapatan perkapita dan penanaman modal.
Namun, seperti juga diungkapkan oleh ekonom kenamaan Swedia Gunnar Myrdal dalam Pratama (2006), kemiskinan juga merupakan masalah politik. Oleh karenanya diperlukan suatu keputusan politik oleh pimpinan suatu negara. Masalah kemiskinan merupakan permasalah struktural, maka pemecahan masalah ini juga harus terkait dengan perencanaan pembangunan jangka panjang. Berangkat dari pernyataan Myrdal tersebut, jelaslah bahwa program pengentasan kemiskinan melalui jalur pertumbuhan ekonomi memerlukan waktu yang panjang dan jalan yang berliku.