Masalah besar Indonesia yang senantiasa bergejolak dalam pikiran saya adalah mengapa kita terus saja miskin, terbelakang dan tercecer dalam derap kemajuan bangsa lainnya. Setiap ahli atau tokoh barangkali menemukan jawaban yang berlaianan sesuai dengan latar belakang dan pengalaman masing-masing. Setiap jawaban pasti mengandung unsur-unsur kebenaran dan semuanya harus diapresiasi.
Bangsa Indonesia, yang konon katanya gemah ripah loh jinawi ini, agaknya sedang mengalami krisis jati diri yang ditandai dengan maraknya penjualan aset negara atau yang akrab dikenal dengan nama privatisasi. Mari kita tengok fakta-fakta privatisasi yang telah banyak menggerogoti bangsa ini. Berdasarkan Wibowo (2006), privatisasi terjadi pada berbagai sektor, diantaranya sektor telekomunikasi dan pertambangan.
Privatisasi yang paling menghebohkan di sektor telekomunikasi adalah kasus PT Indosat Tbk, pada tahun 2002 yang dijual kepada sebuah perusahaan Singapura, yaitu Singapore Technologies and Telemedia sebesar 42% kepemilikan. SingTel sebagai anak perusahaan Temasek juga telah meguasai 35% saham penyelenggara selular Telkomsel. STT bersama SingTel adalah anak perusahaan yang bernaung di bawah perusahaan milik Pemerintah Singapura, yakni Temasek Holding (Pte)Ltd. Artinya Singapura telah memonopoli bisnis selular di Indonesia. Lewat penguasaan udara itu, kita praktis sudah dijajah Singapura, karena hampir semua pembicaraan telepon, faks, handphone, dan pengiriman data lainnya harus melalui satelit yang sudah dikuasai Singapura itu (Marwan dalam Farhan, 2006).
Privatisasi juga menjangkiti sektor pertambangan. Privatisasi yang tidak kalah dahsyatnya pada sektor ini adalah pemberian hak pengoperasian Blok Cepu kepada Exxon Mobil, bukannya Pertamina, padahal Ikatan Sarjana Geologi Indonesia sudah menyatakan bahwa mereka lebih dari mampu untuk menjadi operator tambang minyak tersebut. (Rais, 2008). Penguasaan perusahaan asing terhadap pertambangan Indonesia hanya untuk mengeruk keuntungan tanpa memperhatikan masyarakat dan lingkungan ekologi. Lihat saja, Pegunungan Grasberg di Papua sudah habis dikuras dan sekarang sudah jadi cekungan. Perusahaan Freeport McMoran tersebut pada 2002, menurut company profile-nya, mencapai rekor volume penjualan tembaga sebesar 1.5 pound net; 2,3 juta ounce emas, dan mengapalkan rata-rata 2,8 juta metrik ton/tahun. Berdasarkan Rais (2008) ketika kontrak pengandalian operasi Freeport berakhir tahun 2041, kita tinggal memikul kehancuran ekologi. Sementara rakyat Papua mengais-ngais sisa-sisa makanan di tempat sampah besar di luar komplek. Anak-anak mereka tidak bisa sekolah karena miskin. Belum kita bicara soal gizi buruk dan busung lapar (Farhan, 2006).
Selain itu, PT Newmont Minahasa sudah mengeduk hasil tambang emas di Buyat dan meninggalkan penderitaan berbagai penyakit pada penduduk kampung daerah tesebut. Newmont juga sudah mulai mengelola tanah-tanah pertambangan di Sumatera Utara lewat anak perusahaannya, PT Newmont Pacific Nusantara. Ketimpangan sosial juga terjadi di dalam komplek. Bukan kesejahteraan rakyat yang terjadi, justru ketimpangan sosial. Orang-orang bule tinggal di rumah-rumah yang lebih lux dan makan di kantin-kantin yang khusus untuk mereka. Orang Indonesia cukup gembira makan di kantin sendiri, tidak boleh makan di kantin pekerja asing kecuali ada yang secara khusus mengundang mereka makan di sana. Mereka menjad warganegara kelas dua di negeri sendiri dan pemerintah membiarkan hal itu terjadi.
Wacana privatisasi sebenarnya telah muncul pasca Orde Baru tumbang (Supadiyanto, 2007). Auranya kian menjadi realitas sosial dan politik seiring dengan pergantian presiden di negeri ini. Mulai dari pemerintahan zaman Presiden Habibie menuju Gus Dur, juga pernah menggulirkan kebijakan privatisasi. Tak luput pula, pemerintahan yang dipimpin oleh Megawati dan kini SBY-pun menerapkan kebijakan sama. Yang bisa ditengarai selama ini, privatisasi hanya sebagai penjualan aset negara pada pihak asing. Pemerintah tampak mendapatkan untung sebentar saja, namun mesti menangguk kerugian yang berkepanjangan.
Privatisasi hanya sebagai alat bagi agen liberalisme dan globalisasi (negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional pemilik modal) dalam mempertahankan hegemoninya atas negara-negara berkembang dan terbelakang. Modal asing justru hanya menimbulkan ketergantungan negara penerimanya terhadap negara donor. Setelah terjadi ketergantungan, negara donor bisa memaksakan berbagai ketentuan yang hanya menguntungkan pihaknya, seperti keharusan membuka pasar atau mengadopsi sistem ekonomi dan politik tertentu. Singkat kata, modal asing dipandang akan membahayakan kepentingan nasional.
Indonesia sebagai negara yang kaya raya sumber daya alam seharusnya lebih berhasil dalam membangun masa depannya. Meminjam perkataan Stiglitz dalam Rais (2008), yang diperlukan negara berkembang bukanlah bantuan atau hutang asing, namun pengelolaan kekayaan alam dan uang yang mereka miliki dengan cara yang benar.
Botswana merupakan contoh negara berkembang yang dapat berhasil mengelola tambang permata untuk kesejahteraan rakyatnya. Ekonomi Botswana tumbuh 9% dalam 30 tahun terakhir. Negara di Benua Afrika ini berhasil melindungi kekayaan tambangnya dan mampu mengelolanya dengan cerdas dan baik tanpa privatisasi. Malaysia juga merupakan negara yang berhasil memanfaatkan kekayaan alam. Malaysia berhasil bergabung dengan jajaran negara industri baru berkat penganganan sumber daya alam secara cerdas dan baik. Sebagaimana juga India, Malaysia, China, Norwegia, Australia, Venezuela, dan negara cerdas lainnya, yang kaya sumber daya alam dan berhasil mengelolanya tanpa privatisasi.
Bagi Indonesia, mengingat praktik privatisasi selama ini begitu menguntungkan korporasi asing dan sangat merugikan negara sendiri maka harus segera menyiapkan agenda baru. Ini adalah urusan masa depan bangsa, yaitu nasionalisasi aset negara dan peningkatan capacity and character building. Di Malaysia, Brazil, Chile dan Norwegia misalnya, pertambangan yang digarap sendiri oleh pemerintah ternyata mendatangkan keuntungan lebih besar dibanding bila diberikan kepada korporasi asing atau diprivatisasi. Memang tidak mudah untuk mengelola kekayaan alam yang begitu melimpah di negeri ini. Oleh karena itu, perlu peningkatan capacity and character building rakyat Indonesia sebagai operator yang akan mengelola seluruh kekayaan alamnya sendiri. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengembangan sektor pendidikan, kesehatan, serta sektor kehidupan lainnya. Semoga fakta-fakta privatisasi yang telah banyak merugikan bangsa tersebut dapat menggunggah Indonesia dari kelelapan tidur panjangnya.
Bangsa Indonesia, yang konon katanya gemah ripah loh jinawi ini, agaknya sedang mengalami krisis jati diri yang ditandai dengan maraknya penjualan aset negara atau yang akrab dikenal dengan nama privatisasi. Mari kita tengok fakta-fakta privatisasi yang telah banyak menggerogoti bangsa ini. Berdasarkan Wibowo (2006), privatisasi terjadi pada berbagai sektor, diantaranya sektor telekomunikasi dan pertambangan.
Privatisasi yang paling menghebohkan di sektor telekomunikasi adalah kasus PT Indosat Tbk, pada tahun 2002 yang dijual kepada sebuah perusahaan Singapura, yaitu Singapore Technologies and Telemedia sebesar 42% kepemilikan. SingTel sebagai anak perusahaan Temasek juga telah meguasai 35% saham penyelenggara selular Telkomsel. STT bersama SingTel adalah anak perusahaan yang bernaung di bawah perusahaan milik Pemerintah Singapura, yakni Temasek Holding (Pte)Ltd. Artinya Singapura telah memonopoli bisnis selular di Indonesia. Lewat penguasaan udara itu, kita praktis sudah dijajah Singapura, karena hampir semua pembicaraan telepon, faks, handphone, dan pengiriman data lainnya harus melalui satelit yang sudah dikuasai Singapura itu (Marwan dalam Farhan, 2006).
Privatisasi juga menjangkiti sektor pertambangan. Privatisasi yang tidak kalah dahsyatnya pada sektor ini adalah pemberian hak pengoperasian Blok Cepu kepada Exxon Mobil, bukannya Pertamina, padahal Ikatan Sarjana Geologi Indonesia sudah menyatakan bahwa mereka lebih dari mampu untuk menjadi operator tambang minyak tersebut. (Rais, 2008). Penguasaan perusahaan asing terhadap pertambangan Indonesia hanya untuk mengeruk keuntungan tanpa memperhatikan masyarakat dan lingkungan ekologi. Lihat saja, Pegunungan Grasberg di Papua sudah habis dikuras dan sekarang sudah jadi cekungan. Perusahaan Freeport McMoran tersebut pada 2002, menurut company profile-nya, mencapai rekor volume penjualan tembaga sebesar 1.5 pound net; 2,3 juta ounce emas, dan mengapalkan rata-rata 2,8 juta metrik ton/tahun. Berdasarkan Rais (2008) ketika kontrak pengandalian operasi Freeport berakhir tahun 2041, kita tinggal memikul kehancuran ekologi. Sementara rakyat Papua mengais-ngais sisa-sisa makanan di tempat sampah besar di luar komplek. Anak-anak mereka tidak bisa sekolah karena miskin. Belum kita bicara soal gizi buruk dan busung lapar (Farhan, 2006).
Selain itu, PT Newmont Minahasa sudah mengeduk hasil tambang emas di Buyat dan meninggalkan penderitaan berbagai penyakit pada penduduk kampung daerah tesebut. Newmont juga sudah mulai mengelola tanah-tanah pertambangan di Sumatera Utara lewat anak perusahaannya, PT Newmont Pacific Nusantara. Ketimpangan sosial juga terjadi di dalam komplek. Bukan kesejahteraan rakyat yang terjadi, justru ketimpangan sosial. Orang-orang bule tinggal di rumah-rumah yang lebih lux dan makan di kantin-kantin yang khusus untuk mereka. Orang Indonesia cukup gembira makan di kantin sendiri, tidak boleh makan di kantin pekerja asing kecuali ada yang secara khusus mengundang mereka makan di sana. Mereka menjad warganegara kelas dua di negeri sendiri dan pemerintah membiarkan hal itu terjadi.
Wacana privatisasi sebenarnya telah muncul pasca Orde Baru tumbang (Supadiyanto, 2007). Auranya kian menjadi realitas sosial dan politik seiring dengan pergantian presiden di negeri ini. Mulai dari pemerintahan zaman Presiden Habibie menuju Gus Dur, juga pernah menggulirkan kebijakan privatisasi. Tak luput pula, pemerintahan yang dipimpin oleh Megawati dan kini SBY-pun menerapkan kebijakan sama. Yang bisa ditengarai selama ini, privatisasi hanya sebagai penjualan aset negara pada pihak asing. Pemerintah tampak mendapatkan untung sebentar saja, namun mesti menangguk kerugian yang berkepanjangan.
Privatisasi hanya sebagai alat bagi agen liberalisme dan globalisasi (negara-negara maju dan lembaga-lembaga internasional pemilik modal) dalam mempertahankan hegemoninya atas negara-negara berkembang dan terbelakang. Modal asing justru hanya menimbulkan ketergantungan negara penerimanya terhadap negara donor. Setelah terjadi ketergantungan, negara donor bisa memaksakan berbagai ketentuan yang hanya menguntungkan pihaknya, seperti keharusan membuka pasar atau mengadopsi sistem ekonomi dan politik tertentu. Singkat kata, modal asing dipandang akan membahayakan kepentingan nasional.
Indonesia sebagai negara yang kaya raya sumber daya alam seharusnya lebih berhasil dalam membangun masa depannya. Meminjam perkataan Stiglitz dalam Rais (2008), yang diperlukan negara berkembang bukanlah bantuan atau hutang asing, namun pengelolaan kekayaan alam dan uang yang mereka miliki dengan cara yang benar.
Botswana merupakan contoh negara berkembang yang dapat berhasil mengelola tambang permata untuk kesejahteraan rakyatnya. Ekonomi Botswana tumbuh 9% dalam 30 tahun terakhir. Negara di Benua Afrika ini berhasil melindungi kekayaan tambangnya dan mampu mengelolanya dengan cerdas dan baik tanpa privatisasi. Malaysia juga merupakan negara yang berhasil memanfaatkan kekayaan alam. Malaysia berhasil bergabung dengan jajaran negara industri baru berkat penganganan sumber daya alam secara cerdas dan baik. Sebagaimana juga India, Malaysia, China, Norwegia, Australia, Venezuela, dan negara cerdas lainnya, yang kaya sumber daya alam dan berhasil mengelolanya tanpa privatisasi.
Bagi Indonesia, mengingat praktik privatisasi selama ini begitu menguntungkan korporasi asing dan sangat merugikan negara sendiri maka harus segera menyiapkan agenda baru. Ini adalah urusan masa depan bangsa, yaitu nasionalisasi aset negara dan peningkatan capacity and character building. Di Malaysia, Brazil, Chile dan Norwegia misalnya, pertambangan yang digarap sendiri oleh pemerintah ternyata mendatangkan keuntungan lebih besar dibanding bila diberikan kepada korporasi asing atau diprivatisasi. Memang tidak mudah untuk mengelola kekayaan alam yang begitu melimpah di negeri ini. Oleh karena itu, perlu peningkatan capacity and character building rakyat Indonesia sebagai operator yang akan mengelola seluruh kekayaan alamnya sendiri. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengembangan sektor pendidikan, kesehatan, serta sektor kehidupan lainnya. Semoga fakta-fakta privatisasi yang telah banyak merugikan bangsa tersebut dapat menggunggah Indonesia dari kelelapan tidur panjangnya.
No comments:
Post a Comment