Dalam sebuah negara yang sedang berkembang, seperti Bangsa Indonesia, banyak sekali permasalahan-permasalahan yang sangat komplek untuk ditangani yang terkadang hal ini menjadi sebuah penghambat bagi perkembangan negara untuk maju menuju tahap selanjutnya. Salah satu permasalahan yang menjadi prioritas perhatian dari pemerintah adalah kemiskinan.
Bank Dunia mempublikasikan bahwa tahun 2007 terdapat sebanyak 110 juta jumlah rakyat miskin di Indonesia, atau 49,5 % dari jumlah penduduk Indonesia yang sekarang ini terhitung 225 juta penduduk (Riyanto, 2007). Akan tetapi, data dari BPS yang disampaikan oleh Deputi Statistik Sosial Dr. Rusman Heriawan (2007) menyatakan, diperkirakan jumlah orang miskin tahun 2007 yakni 36 juta orang. Artinya, jumlah orang miskin di Indonesia hanya 16,5 % dari jumlah penduduk (Riyanto, 2007).
Memang ada perbedaan yang mencolok antara Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Namun yang menjadi perhatian adalah secara absolut jumlah penduduk miskin masih relatif besar. Hal yang menyedihkan, suara jutaan jiwa orang miskin tersebut tidak terartikulasikan di ruang publik, terutama di media massa, yang umumnya didominasi oleh artikulasi elite negara, pengusaha, dan politisi. Kaum miskin itu adalah kekuatan yang membisu.
Beban masyarakat miskin merupakan tanggung jawab negara. Pernyataan tanggung jawab terhadap kemiskinan salah satunya tertuang dalam Millenium Development Goals (MDG’s). Bahkan jauh-jauh hari Piagam Hak-hak Asasi Manusia 1948 telah mengumandangkan hak dasar manusia untuk hidup dan hak bebas, termasuk bebas dari kelaparan, kemiskinan, dan ketakutan. Dalam konteks Indonesia, kemiskinan merupakan tanggung jawab konstitusional negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 Undang-undang Dasar 1945.
Masyarakat merasa bahwa negara tidak bertanggung jawab atas nasib warganya. Padahal tugas itu sebagai mandat tertuang dalam konstitusi. Kefrustasian yang menimpa masyarakat selalu dikembalikan sebagai problem individual. Sebuah karakter dan cara kerja kapitalistik yang mengabaikan ikatan kolektivitas. Ketika warga negara menuntut haknya dengan cara-cara yang tidak sesuai kepentingan penguasa, dianggap pembangkangan dan tidak konstitusional. Bahkan dianggap subversif, separatis, tidak nasionalis, dan stigma lainnya.
Sebuah keanehan, jika tiba-tiba saja banyak penguasa resah soal nasionalisme ke-Indonesia-an ketika ada pengibaran bendera sekelompok masyarakat di beberapa daerah, atau beragam gejolak yang menuntut keadilan, serta berbagai bentuk protes atas masalah kebangsaan ini. Fenomena itu padahal sebuah bentuk simbolisme, ekspresi protes atas struktur hubungan pusat dan daerah. Jika ditelusur gejala semacam itu tidak lain merupakan reaksi atau akibat-akibat semata dari problem-problem dasar lainnya.
Tidak sulit berkesimpulan bahwa krisis nasionalisme negeri ini justru berasal dari gagalnya negara membangun ikatan nilai kebersamaan yang ditunjukkan dalam kebijakan bernegara yang buruk. Itulah tali kait antara krisis nasionalisme dengan problem kemiskinan rakyat. Reformasi yang hampir berusia satu dekade ini sesungguhnya cukup untuk merefleksikan ulang, bagaimana bangsa ini menjalankan mandat memenuhi kesejahteraan. Hanya saja itu tidak dilakukan, dan menganggap segala bentuk protes sosial yang bersumber kebijakan struktural dialirkan pada pudarnya sikap dan semangat nasionalisme warga, atau pelabelan separatisme.
Bangsa Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam namun justru kebanyakan berpenduduk miskin. Dengan kekayaan alamnya, Indonesia seharusnya lebih berhasil dalam membangun masa depannya. Paradoks ini merupakan hasil dari sesuatu yang salah. Menurut Stiglitz dalam Rais (2008), negara-negara barat telah mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia yang tidak berkaitan dengan upaya kemakmuran dari negara yang menjadi tuan rumah. Mudah dimaklumi bila berbagai korporasi barat hanya memikirkan keuntungan untuk mereka sendiri, tanpa menaruh perhatian terhadap proses pemiskinan yang terjadi di Indonesia. Keadaan seperti ini karena Indonesia terjebak dalam sistem globalisasi. Pada akhirnya memang terpulang pada Bangsa Indonesia untuk memperjuangkan nasibnya sendiri dalam proses globalisasi yang ganas.
Berdasarkan Chomsky dalam Rais (2008), globalisasi yang tidak memperhatikan hak-hak rakyat (masyarakat) sangat mungkin merosot terjerembab ke dalam bentuk tirani, yang dapat bersifat oligarkis dan oligopolistis. Globalisasi semacam ini didasarkan atas konsentrasi kekuasaan gabungan negara dan swasta yang secara umum tidak bertanggung jawab pada publik. Kesenjangan sosial ekonomi di jaman globalisasi adalah sebuah kejahatan yang sempurna.
Bentuk penjajahan globalisasi terhadap Indonesia antara lain penjualan aset strategis bangsa (privatisasi) kepada korporasi asing, serta hutang luar negeri, sehingga menjebak Indonesia dalam kubangan kemiskinan. Privatisasi yang paling menghebohkan di sektor telekomunikasi adalah kasus PT Indosat Tbk, pada tahun 2002 yang dijual kepada sebuah perusahaan Singapura, yaitu Singapore Technologies and Telemedia sebesar 42% kepemilikan. SingTel sebagai anak perusahaan Temasek juga telah meguasai 35% saham penyelenggara selular Telkomsel. STT bersama SingTel adalah anak perusahaan yang bernaung di bawah perusahaan milik Pemerintah Singapura, yakni Temasek Holding (Pte)Ltd. Artinya Singapura telah memonopoli bisnis selular di Indonesia. Lewat penguasaan udara itu, kita praktis sudah dijajah Singapura, karena hampir semua pembicaraan telepon, faks, handphone, dan pengiriman data lainnya harus melalui satelit yang sudah dikuasai Singapura itu (Marwan dalam Farhan, 2006).
Privatisasi juga menjangkiti sektor pertambangan. Privatisasi yang tidak kalah dahsyatnya pada sektor ini adalah pemberian hak pengoperasian Blok Cepu kepada Exxon Mobil, bukannya Pertamina, padahal Ikatan Sarjana Geologi Indonesia sudah menyatakan bahwa mereka lebih dari mampu untuk menjadi operator tambang minyak tersebut. (Rais, 2008). Penguasaan perusahaan asing terhadap pertambangan Indonesia hanya untuk mengeruk keuntungan tanpa memperhatikan masyarakat dan lingkungan ekologi. Lihat saja, Pegunungan Grasberg di Papua sudah habis dikuras dan sekarang sudah jadi cekungan. Perusahaan Freeport McMoran tersebut pada 2002, menurut company profile-nya, mencapai rekor volume penjualan tembaga sebesar 1.5 pound net; 2,3 juta ounce emas, dan mengapalkan rata-rata 2,8 juta metrik ton/tahun. Berdasarkan Rais (2008) ketika kontrak pengandalian operasi Freeport berakhir tahun 2041, kita tinggal memikul kehancuran ekologi. Sementara rakyat Papua mengais-ngais sisa-sisa makanan di tempat sampah besar di luar komplek. Anak-anak mereka tidak bisa sekolah karena miskin. Belum kita bicara soal gizi buruk dan busung lapar (Farhan, 2006).
Dalam urusan hutang luar negeri, setiap tahunnya negara menanggung pembayaran beban hutang baik pokok dan bunganya hampir mencapai 30% dari total APBN. Berdasarkan Pattilo, Pairson dan Ricci dalam Pratama (2006), menemukan hubungan yang negatif antara hutang dengan tingkat pendapatan perkapita. Tingginya level hutang dapat menyebabkan berkurangnya sumber daya yang dapat dialokasikan untuk kepentingan investasi yang dapat memperbaiki kinerja ekspor.
Indonesia pada tahun 2005, memiliki rasio utang terhadap PDB sebesar 45,63% (Pratama, 2006). Dengan berlandaskan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Pattilo dkk, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa utang luar negeri mempunyai dampak yang kurang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dengan kondisi tersebut, penyediaan sarana dan prasarana publik pun menjadi terkendala. Betapa tidak, untuk tahun fiskal 2006 saja, 48.70% PPh dan PPn (Rp 210.71 T+ Rp 128.31 T=Rp 339.02 T) yang dibebankan ke pundak masyarakat, habis untuk membayar hutang pemerintah (Pratama, 2006). Hal ini menjadi sebuah hal yang ironis mengingat salah satu fungsi utama pajak adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang-barang kebutuhan publik.
Indonesia sebagai negara yang kaya raya sumber daya alam seharusnya lebih berhasil dalam membangun masa depannya. Meminjam perkataan Stiglitz dalam Rais (2008), yang diperlukan negara berkembang bukanlah bantuan atau hutang asing, namun pengelolaan kekayaan alam dan uang yang mereka miliki dengan cara yang benar. Kelunturan nasionalisme bisa diatasi asal ada perbaikan kondisi sosial ekonomi dengan mengurangi kemiskinan dari masyarakat bawah yang jumlahnya 10,9 juta orang (Sudarsono, 2008).
Oleh karena itu, nasionalisme jika diinterpretasikan dalam dinamika dan proses perubahan, sudah semestinya menterjemahkan secara kritis ikatan-ikatan dan konsensus historik yang telah dirintis para pemimpin masa lalu itu dalam praktek bernegara. Reproduksi nasionalisme tidak lagi berpangku pada nalar ortodoks, melandaskan keyakinan masa lalu semata tanpa kejernihan berfikir. Dengan demikian yang perlu dilakukan justru menafsirkan ulang spirit dan nilai nasionalisme itu menggunakan nalar publik yang sudah berubah dari sisi ruang, waktu, tantangan dan masalah yang dihadapi. Hal semacam itu jauh lebih penting dari sekadar mempertebal doktrin klasik, tetapi pada saat bersamaan mengalami kekeroposan dan erosi. Nasionalisme yang masih dikurung dalam sangkar pemahaman doktrin klasik, menyebabkan nasionalisme menjadi beban dibandingkan sebagai nilai dan modal persatuan bangsa untuk masa depan.
Sebagai solusi kelunturan nasionalisme adalah membangun kesadaran kolektif ke-Indonesia-an sebagai bangsa dilandasi oleh ikatan ideologis dengan mendasarkan pada konsep kelas negara dunia ketiga. Ancaman nasionalisme dan integrasi bangsa Indonesia sebagai negara dunia ketiga adalah, ketika negara mengabaikan problem-problem struktural masyarakat akibat terlalu melayani kemauan kaum borjuasi internasional. Itulah bibit-bibit terjadinya disintegrasi bangsa. Secara praktis, kita perlu melawan sekaligus menghentikan bermacam tindakan penguasa, yang seolah mewakili negara dengan dalih konsitusional, ternyata menggadaikan kekayaan negeri ini (sebagai bagian kekuatan bangsa) pada kaum kapitalis internasional melalui globalisasi. Makin hilangnya sumber daya alam ini yang dieksploitasi mengakibatkan ketidakadilan, marginalisasi berlangsung secara terus-menerus. Semua itu membuat bangsa ini makin carut-marut dan krisis berkepanjangan. Inlah tantangan serius, akar struktural mengapa krisis nasionalisme terjadi di negeri ini.
Bagi Indonesia, mengingat praktik privatisasi dan hutang luar negeri selama ini begitu menguntungkan korporasi asing dan sangat merugikan negara sendiri maka harus segera menyiapkan agenda baru. Ini adalah urusan masa depan bangsa, yaitu nasionalisasi aset negara, hentikan hutang luar negeri, dan peningkatan capacity and character building. Memang tidak mudah untuk mengelola kekayaan alam yang begitu melimpah di negeri ini. Oleh karena itu, perlu peningkatan capacity and character building rakyat Indonesia sebagai operator yang akan mengelola seluruh kekayaan alamnya sendiri. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengembangan sektor pendidikan, kesehatan, serta sektor kehidupan lainnya. Jelaslah bahwa program pengentasan kemiskinan untuk menyegarkan rasa nasionalisme kebangsaan memerlukan waktu yang panjang dan jalan yang berliku.
Indonesia harus segera keluar dari kungkungan pemahaman keliru terhadap globalisasi. Kelemahan ini menyebabkan seluruh jurus globalisasi seperti yang difatwakan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO ditelan semuanya oleh Bangsa Indonesia tanpa daya dan nalar kritis yang diperlukan. Bukti-bukti memperlihatkan bahwa banyak negara berkembang, liberalisasi modal, pasar keuangan tidak menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, tetapi bahkan mencapai ketidakstabilan. India dan China yang pertumbuhan ekonominya tinggi terhindar dari krisis Asia tahun 1997 tanpa melakukan liberalisasi (Stiglitz dalam Rais, 2008).
Botswana merupakan contoh negara berkembang yang dapat berhasil mengelola tambang permata untuk kesejahteraan rakyatnya. Ekonomi Botswana tumbuh 9% dalam 30 tahun terakhir. Negara di Benua Afrika ini berhasil melindungi kekayaan tambangnya dan mampu mengelolanya dengan cerdas dan baik tanpa privatisasi. Malaysia juga merupakan negara yang berhasil memanfaatkan kekayaan alam. Malaysia berhasil bergabung dengan jajaran negara industri baru berkat penganganan sumber daya alam secara cerdas dan baik. Sebagaimana juga India, Malaysia, China, Norwegia, Australia, Venezuela, dan negara cerdas lainnya, yang kaya sumber daya alam dan berhasil mengelolanya tanpa privatisasi dan hutang luar negeri.
Permasalahan kemiskinan pada dasarnya juga mempunyai kaitan yang erat dengan besar kecilnya arus modal yang masuk ke Indonesia. Oleh karenanya, seperti diungkapkan oleh Ragnar Nurske lewat bukunya "The Capital Accumulation In The Less Developed Countries (1953)" dalam Pratama (2006), tujuan utama pembangunan ekonomi memang harus melalui peningkatan pendapatan perkapita dan penanaman modal.
Namun, seperti juga diungkapkan oleh ekonom kenamaan Swedia Gunnar Myrdal dalam Pratama (2006), kemiskinan juga merupakan masalah politik. Oleh karenanya diperlukan suatu keputusan politik oleh pimpinan suatu negara. Masalah kemiskinan merupakan permasalah struktural, maka pemecahan masalah ini juga harus terkait dengan perencanaan pembangunan jangka panjang. Berangkat dari pernyataan Myrdal tersebut, jelaslah bahwa program pengentasan kemiskinan melalui jalur pertumbuhan ekonomi memerlukan waktu yang panjang dan jalan yang berliku.
Bank Dunia mempublikasikan bahwa tahun 2007 terdapat sebanyak 110 juta jumlah rakyat miskin di Indonesia, atau 49,5 % dari jumlah penduduk Indonesia yang sekarang ini terhitung 225 juta penduduk (Riyanto, 2007). Akan tetapi, data dari BPS yang disampaikan oleh Deputi Statistik Sosial Dr. Rusman Heriawan (2007) menyatakan, diperkirakan jumlah orang miskin tahun 2007 yakni 36 juta orang. Artinya, jumlah orang miskin di Indonesia hanya 16,5 % dari jumlah penduduk (Riyanto, 2007).
Memang ada perbedaan yang mencolok antara Bank Dunia dan Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia. Namun yang menjadi perhatian adalah secara absolut jumlah penduduk miskin masih relatif besar. Hal yang menyedihkan, suara jutaan jiwa orang miskin tersebut tidak terartikulasikan di ruang publik, terutama di media massa, yang umumnya didominasi oleh artikulasi elite negara, pengusaha, dan politisi. Kaum miskin itu adalah kekuatan yang membisu.
Beban masyarakat miskin merupakan tanggung jawab negara. Pernyataan tanggung jawab terhadap kemiskinan salah satunya tertuang dalam Millenium Development Goals (MDG’s). Bahkan jauh-jauh hari Piagam Hak-hak Asasi Manusia 1948 telah mengumandangkan hak dasar manusia untuk hidup dan hak bebas, termasuk bebas dari kelaparan, kemiskinan, dan ketakutan. Dalam konteks Indonesia, kemiskinan merupakan tanggung jawab konstitusional negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 31 Undang-undang Dasar 1945.
Masyarakat merasa bahwa negara tidak bertanggung jawab atas nasib warganya. Padahal tugas itu sebagai mandat tertuang dalam konstitusi. Kefrustasian yang menimpa masyarakat selalu dikembalikan sebagai problem individual. Sebuah karakter dan cara kerja kapitalistik yang mengabaikan ikatan kolektivitas. Ketika warga negara menuntut haknya dengan cara-cara yang tidak sesuai kepentingan penguasa, dianggap pembangkangan dan tidak konstitusional. Bahkan dianggap subversif, separatis, tidak nasionalis, dan stigma lainnya.
Sebuah keanehan, jika tiba-tiba saja banyak penguasa resah soal nasionalisme ke-Indonesia-an ketika ada pengibaran bendera sekelompok masyarakat di beberapa daerah, atau beragam gejolak yang menuntut keadilan, serta berbagai bentuk protes atas masalah kebangsaan ini. Fenomena itu padahal sebuah bentuk simbolisme, ekspresi protes atas struktur hubungan pusat dan daerah. Jika ditelusur gejala semacam itu tidak lain merupakan reaksi atau akibat-akibat semata dari problem-problem dasar lainnya.
Tidak sulit berkesimpulan bahwa krisis nasionalisme negeri ini justru berasal dari gagalnya negara membangun ikatan nilai kebersamaan yang ditunjukkan dalam kebijakan bernegara yang buruk. Itulah tali kait antara krisis nasionalisme dengan problem kemiskinan rakyat. Reformasi yang hampir berusia satu dekade ini sesungguhnya cukup untuk merefleksikan ulang, bagaimana bangsa ini menjalankan mandat memenuhi kesejahteraan. Hanya saja itu tidak dilakukan, dan menganggap segala bentuk protes sosial yang bersumber kebijakan struktural dialirkan pada pudarnya sikap dan semangat nasionalisme warga, atau pelabelan separatisme.
Bangsa Indonesia merupakan negara yang kaya sumber daya alam namun justru kebanyakan berpenduduk miskin. Dengan kekayaan alamnya, Indonesia seharusnya lebih berhasil dalam membangun masa depannya. Paradoks ini merupakan hasil dari sesuatu yang salah. Menurut Stiglitz dalam Rais (2008), negara-negara barat telah mengeksploitasi kekayaan alam Indonesia yang tidak berkaitan dengan upaya kemakmuran dari negara yang menjadi tuan rumah. Mudah dimaklumi bila berbagai korporasi barat hanya memikirkan keuntungan untuk mereka sendiri, tanpa menaruh perhatian terhadap proses pemiskinan yang terjadi di Indonesia. Keadaan seperti ini karena Indonesia terjebak dalam sistem globalisasi. Pada akhirnya memang terpulang pada Bangsa Indonesia untuk memperjuangkan nasibnya sendiri dalam proses globalisasi yang ganas.
Berdasarkan Chomsky dalam Rais (2008), globalisasi yang tidak memperhatikan hak-hak rakyat (masyarakat) sangat mungkin merosot terjerembab ke dalam bentuk tirani, yang dapat bersifat oligarkis dan oligopolistis. Globalisasi semacam ini didasarkan atas konsentrasi kekuasaan gabungan negara dan swasta yang secara umum tidak bertanggung jawab pada publik. Kesenjangan sosial ekonomi di jaman globalisasi adalah sebuah kejahatan yang sempurna.
Bentuk penjajahan globalisasi terhadap Indonesia antara lain penjualan aset strategis bangsa (privatisasi) kepada korporasi asing, serta hutang luar negeri, sehingga menjebak Indonesia dalam kubangan kemiskinan. Privatisasi yang paling menghebohkan di sektor telekomunikasi adalah kasus PT Indosat Tbk, pada tahun 2002 yang dijual kepada sebuah perusahaan Singapura, yaitu Singapore Technologies and Telemedia sebesar 42% kepemilikan. SingTel sebagai anak perusahaan Temasek juga telah meguasai 35% saham penyelenggara selular Telkomsel. STT bersama SingTel adalah anak perusahaan yang bernaung di bawah perusahaan milik Pemerintah Singapura, yakni Temasek Holding (Pte)Ltd. Artinya Singapura telah memonopoli bisnis selular di Indonesia. Lewat penguasaan udara itu, kita praktis sudah dijajah Singapura, karena hampir semua pembicaraan telepon, faks, handphone, dan pengiriman data lainnya harus melalui satelit yang sudah dikuasai Singapura itu (Marwan dalam Farhan, 2006).
Privatisasi juga menjangkiti sektor pertambangan. Privatisasi yang tidak kalah dahsyatnya pada sektor ini adalah pemberian hak pengoperasian Blok Cepu kepada Exxon Mobil, bukannya Pertamina, padahal Ikatan Sarjana Geologi Indonesia sudah menyatakan bahwa mereka lebih dari mampu untuk menjadi operator tambang minyak tersebut. (Rais, 2008). Penguasaan perusahaan asing terhadap pertambangan Indonesia hanya untuk mengeruk keuntungan tanpa memperhatikan masyarakat dan lingkungan ekologi. Lihat saja, Pegunungan Grasberg di Papua sudah habis dikuras dan sekarang sudah jadi cekungan. Perusahaan Freeport McMoran tersebut pada 2002, menurut company profile-nya, mencapai rekor volume penjualan tembaga sebesar 1.5 pound net; 2,3 juta ounce emas, dan mengapalkan rata-rata 2,8 juta metrik ton/tahun. Berdasarkan Rais (2008) ketika kontrak pengandalian operasi Freeport berakhir tahun 2041, kita tinggal memikul kehancuran ekologi. Sementara rakyat Papua mengais-ngais sisa-sisa makanan di tempat sampah besar di luar komplek. Anak-anak mereka tidak bisa sekolah karena miskin. Belum kita bicara soal gizi buruk dan busung lapar (Farhan, 2006).
Dalam urusan hutang luar negeri, setiap tahunnya negara menanggung pembayaran beban hutang baik pokok dan bunganya hampir mencapai 30% dari total APBN. Berdasarkan Pattilo, Pairson dan Ricci dalam Pratama (2006), menemukan hubungan yang negatif antara hutang dengan tingkat pendapatan perkapita. Tingginya level hutang dapat menyebabkan berkurangnya sumber daya yang dapat dialokasikan untuk kepentingan investasi yang dapat memperbaiki kinerja ekspor.
Indonesia pada tahun 2005, memiliki rasio utang terhadap PDB sebesar 45,63% (Pratama, 2006). Dengan berlandaskan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Pattilo dkk, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa utang luar negeri mempunyai dampak yang kurang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia.
Dengan kondisi tersebut, penyediaan sarana dan prasarana publik pun menjadi terkendala. Betapa tidak, untuk tahun fiskal 2006 saja, 48.70% PPh dan PPn (Rp 210.71 T+ Rp 128.31 T=Rp 339.02 T) yang dibebankan ke pundak masyarakat, habis untuk membayar hutang pemerintah (Pratama, 2006). Hal ini menjadi sebuah hal yang ironis mengingat salah satu fungsi utama pajak adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui penyediaan barang-barang kebutuhan publik.
Indonesia sebagai negara yang kaya raya sumber daya alam seharusnya lebih berhasil dalam membangun masa depannya. Meminjam perkataan Stiglitz dalam Rais (2008), yang diperlukan negara berkembang bukanlah bantuan atau hutang asing, namun pengelolaan kekayaan alam dan uang yang mereka miliki dengan cara yang benar. Kelunturan nasionalisme bisa diatasi asal ada perbaikan kondisi sosial ekonomi dengan mengurangi kemiskinan dari masyarakat bawah yang jumlahnya 10,9 juta orang (Sudarsono, 2008).
Oleh karena itu, nasionalisme jika diinterpretasikan dalam dinamika dan proses perubahan, sudah semestinya menterjemahkan secara kritis ikatan-ikatan dan konsensus historik yang telah dirintis para pemimpin masa lalu itu dalam praktek bernegara. Reproduksi nasionalisme tidak lagi berpangku pada nalar ortodoks, melandaskan keyakinan masa lalu semata tanpa kejernihan berfikir. Dengan demikian yang perlu dilakukan justru menafsirkan ulang spirit dan nilai nasionalisme itu menggunakan nalar publik yang sudah berubah dari sisi ruang, waktu, tantangan dan masalah yang dihadapi. Hal semacam itu jauh lebih penting dari sekadar mempertebal doktrin klasik, tetapi pada saat bersamaan mengalami kekeroposan dan erosi. Nasionalisme yang masih dikurung dalam sangkar pemahaman doktrin klasik, menyebabkan nasionalisme menjadi beban dibandingkan sebagai nilai dan modal persatuan bangsa untuk masa depan.
Sebagai solusi kelunturan nasionalisme adalah membangun kesadaran kolektif ke-Indonesia-an sebagai bangsa dilandasi oleh ikatan ideologis dengan mendasarkan pada konsep kelas negara dunia ketiga. Ancaman nasionalisme dan integrasi bangsa Indonesia sebagai negara dunia ketiga adalah, ketika negara mengabaikan problem-problem struktural masyarakat akibat terlalu melayani kemauan kaum borjuasi internasional. Itulah bibit-bibit terjadinya disintegrasi bangsa. Secara praktis, kita perlu melawan sekaligus menghentikan bermacam tindakan penguasa, yang seolah mewakili negara dengan dalih konsitusional, ternyata menggadaikan kekayaan negeri ini (sebagai bagian kekuatan bangsa) pada kaum kapitalis internasional melalui globalisasi. Makin hilangnya sumber daya alam ini yang dieksploitasi mengakibatkan ketidakadilan, marginalisasi berlangsung secara terus-menerus. Semua itu membuat bangsa ini makin carut-marut dan krisis berkepanjangan. Inlah tantangan serius, akar struktural mengapa krisis nasionalisme terjadi di negeri ini.
Bagi Indonesia, mengingat praktik privatisasi dan hutang luar negeri selama ini begitu menguntungkan korporasi asing dan sangat merugikan negara sendiri maka harus segera menyiapkan agenda baru. Ini adalah urusan masa depan bangsa, yaitu nasionalisasi aset negara, hentikan hutang luar negeri, dan peningkatan capacity and character building. Memang tidak mudah untuk mengelola kekayaan alam yang begitu melimpah di negeri ini. Oleh karena itu, perlu peningkatan capacity and character building rakyat Indonesia sebagai operator yang akan mengelola seluruh kekayaan alamnya sendiri. Hal ini dapat diwujudkan melalui pengembangan sektor pendidikan, kesehatan, serta sektor kehidupan lainnya. Jelaslah bahwa program pengentasan kemiskinan untuk menyegarkan rasa nasionalisme kebangsaan memerlukan waktu yang panjang dan jalan yang berliku.
Indonesia harus segera keluar dari kungkungan pemahaman keliru terhadap globalisasi. Kelemahan ini menyebabkan seluruh jurus globalisasi seperti yang difatwakan oleh IMF, Bank Dunia, dan WTO ditelan semuanya oleh Bangsa Indonesia tanpa daya dan nalar kritis yang diperlukan. Bukti-bukti memperlihatkan bahwa banyak negara berkembang, liberalisasi modal, pasar keuangan tidak menjadi sumber pertumbuhan ekonomi, tetapi bahkan mencapai ketidakstabilan. India dan China yang pertumbuhan ekonominya tinggi terhindar dari krisis Asia tahun 1997 tanpa melakukan liberalisasi (Stiglitz dalam Rais, 2008).
Botswana merupakan contoh negara berkembang yang dapat berhasil mengelola tambang permata untuk kesejahteraan rakyatnya. Ekonomi Botswana tumbuh 9% dalam 30 tahun terakhir. Negara di Benua Afrika ini berhasil melindungi kekayaan tambangnya dan mampu mengelolanya dengan cerdas dan baik tanpa privatisasi. Malaysia juga merupakan negara yang berhasil memanfaatkan kekayaan alam. Malaysia berhasil bergabung dengan jajaran negara industri baru berkat penganganan sumber daya alam secara cerdas dan baik. Sebagaimana juga India, Malaysia, China, Norwegia, Australia, Venezuela, dan negara cerdas lainnya, yang kaya sumber daya alam dan berhasil mengelolanya tanpa privatisasi dan hutang luar negeri.
Permasalahan kemiskinan pada dasarnya juga mempunyai kaitan yang erat dengan besar kecilnya arus modal yang masuk ke Indonesia. Oleh karenanya, seperti diungkapkan oleh Ragnar Nurske lewat bukunya "The Capital Accumulation In The Less Developed Countries (1953)" dalam Pratama (2006), tujuan utama pembangunan ekonomi memang harus melalui peningkatan pendapatan perkapita dan penanaman modal.
Namun, seperti juga diungkapkan oleh ekonom kenamaan Swedia Gunnar Myrdal dalam Pratama (2006), kemiskinan juga merupakan masalah politik. Oleh karenanya diperlukan suatu keputusan politik oleh pimpinan suatu negara. Masalah kemiskinan merupakan permasalah struktural, maka pemecahan masalah ini juga harus terkait dengan perencanaan pembangunan jangka panjang. Berangkat dari pernyataan Myrdal tersebut, jelaslah bahwa program pengentasan kemiskinan melalui jalur pertumbuhan ekonomi memerlukan waktu yang panjang dan jalan yang berliku.
No comments:
Post a Comment