Sewaktu surfing namaku di google picture ternyata muncul fotoku yang sewaktu menang KPKM 2008 yang dimuat di ITS Online. Wah, jadi teringat masa-masa kuliah dulu, hehe..
Waktu itu kita bertiga, yaitu Sri Oka Rachmadita, Asih Kusuma Dewi dan aku sendiri. Kita tergabung dalam tim .......????!! Ups, sayang kala itu kita tidak menamai tim. Yang jelas berhasil menggondol juara III nasional. O iya, aku belum ngenalin yang telah berjasa, yaitu Pak Aris sebagai pembimbing kita bertiga, juga dibantu sama Mbak Myrna. Terima kasih banyak ya Pak, Mbak...
Wuiiihhhh pokoknya keren banget lah...
Ini beberapa penggalan kata-kata yang telah dimuat di ITS Online tanggal 25 Mei 2008 10:28:58. Sudah lama juga ya..
ITS Online - Anggapan bahwa mahasiswa ITS tak hanya mampu berbicara di bidang teknik dan ilmu eksak kembali tercatat. Beberapa waktu lalu Sri Oka, Asih Kusuma Dewi, dan Arif Syaifudin dengan karya tulisnya berjudul Telaah Kritis Konsep Konsevatif Partisipasi Masyarakat Dalam Penataan Ruang di Surabaya berhasil meraih juara tiga tingkat nasional dalam Kompetisi Pemikiran Kritis Mahasiswa (KPKM).
Ditemui ITS Online di Himpunan Mahasiswa PWK (Perencanaan Wilayah dan Kota) ITS, tiga mahasiswa yang juga aktif sebagai pengurus oraganisasi itu mengatakan bahwa mereka mengkritisi Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 1996. Dalam karya tulisnya membahas konsep pasrtsipasi masyarakat dalam penataan ruang di Surabaya.
“Dalam pasal ini masyarakat hanya berhak melakukan konsultasi bila mereka menganggap ada kesalahan pada penataan kota,” ungkap Oka. Alumni SMA 5 Surabaya ini pun menambahkan bahwa hal ini sangat menyulitkan bagi masyarakat karena aspirasi mereka akan terbentur oleh rumitnya birokrasi.
Selain itu, dalam konsep penataan ruang rakyat kadang tak tahu bahwa daerah tersebut bukan daerah pembangunan. Hal inilah yang mereka kritisi. ”Konsep tata ruang pemerintah sering terjadi penyimpangan karena masyarakat tidak ikut berperan dalam penentuan kebijakan, kebijakan hanya bersifat top down, dibuat dan diputuskan sendiri oleh pemerintah,” jelas Oka.
Salah satu penyimpangannya adalah tentang tata ruang daerah pantai timur Surabaya. Dulu daerah ini begitu hijau dengan zonasi mangrove,namun kini perumahan telah berjajar dengan perumahan.”Hal itu adalah salah satu bentuk penyimpangan yang kami angkat, masyarakat tidak tahu jika seharusnya daerah itu bukan daerah pemukiman,” ungkap Oka.
Untuk itu perlu dicari sebuah solusi agar masyarakat juga dapat berperan dalam pengambilan keputusan tanpa terkendala oleh rumitnya birokrasi. “Dan solusi yang kami tawarkan adalah Konsep Machizukuri,” ungkap Arif Syaifudin. Konsep ini adalah konsep yang diterapkan di daerah Jepang, yaitu Kota Kobe.
“Dulu Kobe juga seperti kota di Indonesia, masih semerawut. Namun setelah terjadinya bencana gempa maka perencanaan tata ruang berganti dengan mengguanakan pola ini, hal ini juga karena partisipasi dari masyarakat Jepang,” tutur Arif.
Dalam Konsep Machizukuri, peran serta masyarakat tak hanya sekedar peran konsultatif saja seperti dalam PP 69 tahun 1996. ”Pemerintah di sini hanya sebagai fasilitator saja, sedangkan masyarakat juga berhak menentukan kebijakan,” jelas Oka.
Selain itu konsep ini juga memiliki tiga pilar penopang. Ketiga pilar tersebut adalah pilar sosial, ekonomi, dan lingkungan. “Jadi prinsip perencanaan penataan ruang tak hanya penataan spasial saja tapi juga dilihat dari faktor sosial, ekonomi dan lingkungan,” tambah Asih.
Dengan dibentuknya ketiga pilar ini dapat membuat masyarakat semakin lebih berpartisipasi dalam penataan ruang. Oleh karena itu untuk mewujudkan tiga pilar tersebut maka Jepang pun melakukan pengembangan pada masyarakatnya.
Pengembangan itu bisa berupa penyampaian informasi dan melakukan pendidikan langsung. ”Kedua hal inilah yang disebut sebagai Hard Program dan Soft Program,” ungkap Oka.
Dengan Prestasi yang ditorehkan oleh tiga mahasiswa ini membuktikan bahwa mahasiswa ITS tak hanya kritis dengan berdemonstrasi atau melakukan aksi. Namun juga mampu kritis lewat karya tulis.
”KPKM ini memang bertujuan agar mahasiswa tak hanya kritis di jalan tapi juga dapat menuliskannya,” ungkap Arif. Selain itu dengan mengikuti KPKM peluang aspirasi mahasiwa dapat lebih diperhatikan oleh pemerintah. Hal itu diakui oleh Oka. ”Proposal yang menang akan langsung dikirimkan ke pemerintah,” pungkas Oka.
Semoga mampu berprestasi lagi, terima kasih semuanya ya.. :-)
Friday, September 24, 2010
Tuesday, August 17, 2010
KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA
Kita saat ini memperingati hari kmerdekaan RI yang ke-65. Tak merupakan waktu yang singkat untuk mencapai usia setengah abad lebih ini. Terlepas dari gunjang-ganjing pembangunan sebagai perjuangan untuk mengisi kemerdekaan, kita mungkin sudah lupa atau bahkan belum tahu terkait perjuangan dari bangsa lain yang turut mendukung kemerdekaan RI pada tahun 1945. Dukungan dan pengakuan kemerdekaan dari bangsa lain juga merupakan syarat menjadi bangsa yang merdeka.
Jika ada pertanyaan bangsa manakah yang pertama kali mengakui kemerdekaan RI? Maka jawabanya akanbenar ketika kitamenjawabMesir. Iya Mesir, negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI tahun 1945. Di Mesir sendiri kala itu tengah berkembang sikap antipati terhadap penjajahan Inggris. Sikap non kooperatif terhadap penjajah Inggris ini dicetuskan oleh salah satu organisasi di sana, yaitu Ikhwanul Muslimin, yang mendapat sambutan luar biasa dari rakyat Mesir.Sebagai gerakan dakwah yang menembus sekat geografis, Ikhwanul Muslimin telah memiliki “jaringan iman” dengan berbagai gerakan Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebab itu, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Sekutu dengan sekuat tenaga memblock-out berita ini masuk ke Timur Tengah. Dikhawatirkan jika kemerdekaan Indonesia sampai didengar umat Islam di sana, ini bisa menjadi inspirasi bagi gerakan serupa di Timur Tengah.
Serapat-rapatnya sekutu menutup informasi ini, akhirnya pada awal September 1945, sebulan setelah kemerdekaan Indonesia dibacakan, berita ini sampai juga ke Mesir. Seorang informan Indonesia yang bekerja di Kedutaan Belanda di Kairo, membaca berita kemerdekaan Indonesia dalam suatu artikel di majalah Vrij Nederland. Bagai angin berhembus, berita ini dengan cepat menyebar ke Dunia Islam. Koran dan radio Mesir memuat berita kemerdekaan RI dengan gegap gempita. Para penyiar dengan penuh semangat mengatakan bahwa inilah awal kebangkitan Dunia Islam melawan penjajahan Barat. Di Mesir saat itu, seorang Arab hanya dihargai sepuluh pound Mesir jika dibunuh atau dilindas kendaraan militer Sekutu tanpa hak mengadu atau menggugat. Sebab itu, proklamasi kemerdekaan sebuah negeri Muslim terbesar di dunia ini disambut dengan luapan kebahagiaan.
Di sejumlah kota, Ikhwanul Muslimin segera menggelar munashoroh (demonstrasi) besar-besaran mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Ini dijadikannya momentum yang bagus untuk memerdekakan Mesir dari Inggris. Bukan itu saja, sejumlah ulama di Mesir dan Dunia Arab dengan inisiatif sendiri membentuk “Lajnatud Difa’i’an Indonesia” (Panitia Pembela Indonesia). Badan ini dideklarasikan pada 16 Oktober 1945 di Gedung Pusat Perhimpunan Pemuda Islam dengan Jendral Saleh Harb Pasya sebagai pimpinan pertemuan. Hadir dalam acara itu antara lain Syaikh Hasan Al Banna dan Prof. Taufiq Syawi dari Ikhwanul Muslimin, Pemimpin Palestina Muhammad Ali Taher, dan Sekjen Liga Arab Dr. Salahuddin Pasya.
Dalam pertemuan yang semata didasari ukhuwah Islamiyah, pakar hukum internasional Dr. M. Salahuddin Pasya menyerukan negara-negara Islam untuk sesegera mungkin mendukung, membantu, dan mengakui kemerdekaan RI. Selain itu, Panitia Pembela Indonesia juga mengancam Inggris agar tidak membantu Belanda kembali ke Indonesia. “Jika Inggris membantu Belanda untuk kembali ke Indonesia, maka Inggris akan menuai kemarahan Dunia Islam di Timur Tengah!” ancam Salahuddin Pasya.
Sejarah telah menulis, Inggris tetap membela “kawan seakidah” bernama Belanda. Pasukan NICA membonceng Sekutu kembali ke Indonesia.
Pada 25 Oktober 1945, sejumlah ulama NU pimpinan KH. Wahid Hasyim bertemu dan mengeluarkan fatwa jihad fii sabilillah melawan penjajah. Fatwa ini bergema ke seluruh nusantara dan disambut dengan gegap gempita. Fatwa jihad inilah yang melatarbelakangi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya (hingga kini 10 November diperingati sebagai hari Pahlawan di Indonesia). Untuk memompakan keberanian rakyat Surabaya, Bung Tomo lewat corong radio perlawanan – cikal bakal RRI – terus menerus mengingatkan para mujahid bahwa gerbang surga telah terbuka luas bagi mereka yang syahid.
Hanya semangat jihad dan keridhaan Allah SWT yang mampu membuat ribuan rakyat Surabaya berani melawan pasukan Sekutu bersenjata lengkap. Kedahsyatan pertempuran Surabaya bergema hingga ke Dunia Arab. Keberanian umat Islam Surabaya mengobarkan jihad melawan pasukan Sekutu yang habis mabuk kemenangan dalam Perang Dunia II, ditambah tewasnya satu Jenderal Sekutu – Malaby – di Surabaya, dirasakan oleh kaum Muslimin Timur Tengah sebagai bagian dari kemenangan Islam atas kaum kafir. Upaya perlawanan terhadap Inggris di Mesir pun kian membuncah. Di berbagai lapangan dan Masjid di Kairo, Mekkah, Baghdad, dan negeri-negeri Timur Tengah, dengan serentak umat Islam mendirikan sholat ghaib untuk arwah para syuhada di Surabaya.
Melihat fenomena itu, majalah TIME (25/1/46) dengan nada salib menakut-nakuti Barat dengan kebangkitan Nasionalisme-Islam di Asia dan Dunia Arab. “Kebangkitan Islam di negeri Muslim terbesar di dunia seperti di Indonesia akan menginspirasikan negeri-negeri Islam lainnya untuk membebaskan diri dari Eropa.” Dukungan negara-negara Islam di Timur Tengah terhadap kemerdekaan Indonesia tidak saja dilakukan dalam tingkat akar rumput, namun juga dalam dunia diplomasi. Dalam berbagai sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa, terlihat dengan jelas adanya perbedaan sikap antara negeri-negeri Muslim yang mendukung Indonesia dengan negeri-negeri salib yang memandang Indonesia masih bagian dari Belanda.
Di Mesir, sejak diketahui sebuah negeri Muslim bernama Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya dari penjajah kafir, Ikhwanul Muslimin tanpa kenal lelah terus menerus memperlihatkan dukungannya. Selain menggalang opini umum lewat pemberitaan media, yang memberikan kesempatan luas kepada para mahasiswa Indonesia untuk menulis tentang kemerdekaan Indonesia di koran-koran lokal miliknya, berbagai acara tabligh akbar dan demonstrasi pun digelar. Para pemuda dan pelajar Mesir, juga kepanduan Ikhwan, dengan caranya sendiri berkali-kali mendemo Kedutaan Belanda di Kairo. Tidak hanya dengan slogan dan spanduk, aksi pembakaran, pelemparan batu, dan teriakan-teriakan permusuhan terhadap Belanda kerap dilakukan mereka. Kondisi ini membuat Kedutaan Belanda di Kairo ketakutan. Mereka dengan tergesa mencopot lambang negaranya dari dinding Kedutaan. Mereka juga menurunkan bendera merah-putih-biru yang biasa berkibar di puncak gedung, agar tidak mudah dikenali pada demonstran.
Kuatnya dukungan rakyat Mesir atas kemerdekaan RI, juga atas desakan dan lobi yang dilakukan para pemimpin Ikhwanul Muslimin, membuat pemerintah Mesir mengakui kedaulatan pemerintah RI atas Indonesia pada 22 Maret 1946. Inilah pertama kalinya suatu negara asing mengakui kedaulatan RI secara resmi. Dalam kacamata hukum internasional, lengkaplah sudah syarat Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat. Bukan itu saja, secara resmi pemerintah Mesir juga memberikan bantuan lunak kepada pemerintah RI. Sikap Mesir ini memicu tindakan serupa dari negara-negara Timur Tengah.
Untuk menghaturkan rasa terima kasih, pemerintah Soekarno mengirim delegasi resmi ke Mesir pada tanggal 7 April 1946. Ini adalah delegasi pemerintah RI pertama yang ke luar negeri. Mesir adalah negara pertama yang disinggahi delegasi tersebut.
Tanggal 26 April 1946 delegasi pemerintah RI kembali tiba di Kairo. Beda dengan kedatangan pertama yang berjalan singkat, yang kedua ini lebih intens. Di Hotel Heliopolis Palace, Kairo, sejumlah pejabat tinggi Mesir dan Dunia Arab mendatangi delegasi RI untuk menyampaikan rasa simpati. Selain pejabat negara, sejumlah pemimpin partai dan organisasi juga hadir. Termasuk pemimpin Ikhwanul Muslimin Hasan al Banna dan sejumlah tokoh Ikhwan dengan diiringi puluhan pengikutnya. Setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia, diikuti serius oleh setiap Muslim baik di Mesir maupun di Timur Tengah pada umumnya. Para mahasiswa Indonesia yang saat itu tengah berjuang di Mesir dengan jalan diplomasi revolusi, senantiasa menjaga kontak dengan Ikhwan.
Ketika Belanda melancarkan agresi Militer I (21 Juli 1947) atas Indonesia, para mahasiswa Indonesia di Mesir dan aktivis Ikhwan menggalang aksi pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda yang memasuki selat Suez. Walau Mesir terikat perjanjian 1888 yang memberi kebebasan bagi siapa saja untuk bisa lewat terusan Suez, namun keberanian para buruh Ikhwan yang menguasai Suez dan Port Said berhasil memboikot kapal-kapal Belanda. Motor-boat para ikhwan tersebut sengaja dipasangi bendera merah putih. Dukungan Ikhwan terhadap kemerdekaan Indonesia bukan sebatas dukungan formalitas, tapi dukungan yang didasari kesamaan iman dan Islam.
Itulah kuatnya dukungan umat Islam terhadap kemerdekaan RI. Kini ketika ada saudara kita di Palestina yang sedang didzalimi Yahudi Israel, maka bangsa Indonesia juga terus turut serta memperjuangkan Kemerdekaan Palestina. Dan pada akhirnya kebenaran akan mengalahkan kebatilan.
Referensi: Majalah Saksi – No. 21 Tahun VI, 18 Agustus 2004 dengan perubahan seperlunya…
Jika ada pertanyaan bangsa manakah yang pertama kali mengakui kemerdekaan RI? Maka jawabanya akanbenar ketika kitamenjawabMesir. Iya Mesir, negara pertama yang mengakui kemerdekaan RI tahun 1945. Di Mesir sendiri kala itu tengah berkembang sikap antipati terhadap penjajahan Inggris. Sikap non kooperatif terhadap penjajah Inggris ini dicetuskan oleh salah satu organisasi di sana, yaitu Ikhwanul Muslimin, yang mendapat sambutan luar biasa dari rakyat Mesir.Sebagai gerakan dakwah yang menembus sekat geografis, Ikhwanul Muslimin telah memiliki “jaringan iman” dengan berbagai gerakan Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Sebab itu, ketika Indonesia memproklamasikan kemerdekaannya, Sekutu dengan sekuat tenaga memblock-out berita ini masuk ke Timur Tengah. Dikhawatirkan jika kemerdekaan Indonesia sampai didengar umat Islam di sana, ini bisa menjadi inspirasi bagi gerakan serupa di Timur Tengah.
Serapat-rapatnya sekutu menutup informasi ini, akhirnya pada awal September 1945, sebulan setelah kemerdekaan Indonesia dibacakan, berita ini sampai juga ke Mesir. Seorang informan Indonesia yang bekerja di Kedutaan Belanda di Kairo, membaca berita kemerdekaan Indonesia dalam suatu artikel di majalah Vrij Nederland. Bagai angin berhembus, berita ini dengan cepat menyebar ke Dunia Islam. Koran dan radio Mesir memuat berita kemerdekaan RI dengan gegap gempita. Para penyiar dengan penuh semangat mengatakan bahwa inilah awal kebangkitan Dunia Islam melawan penjajahan Barat. Di Mesir saat itu, seorang Arab hanya dihargai sepuluh pound Mesir jika dibunuh atau dilindas kendaraan militer Sekutu tanpa hak mengadu atau menggugat. Sebab itu, proklamasi kemerdekaan sebuah negeri Muslim terbesar di dunia ini disambut dengan luapan kebahagiaan.
Di sejumlah kota, Ikhwanul Muslimin segera menggelar munashoroh (demonstrasi) besar-besaran mendukung penuh kemerdekaan Indonesia. Ini dijadikannya momentum yang bagus untuk memerdekakan Mesir dari Inggris. Bukan itu saja, sejumlah ulama di Mesir dan Dunia Arab dengan inisiatif sendiri membentuk “Lajnatud Difa’i’an Indonesia” (Panitia Pembela Indonesia). Badan ini dideklarasikan pada 16 Oktober 1945 di Gedung Pusat Perhimpunan Pemuda Islam dengan Jendral Saleh Harb Pasya sebagai pimpinan pertemuan. Hadir dalam acara itu antara lain Syaikh Hasan Al Banna dan Prof. Taufiq Syawi dari Ikhwanul Muslimin, Pemimpin Palestina Muhammad Ali Taher, dan Sekjen Liga Arab Dr. Salahuddin Pasya.
Dalam pertemuan yang semata didasari ukhuwah Islamiyah, pakar hukum internasional Dr. M. Salahuddin Pasya menyerukan negara-negara Islam untuk sesegera mungkin mendukung, membantu, dan mengakui kemerdekaan RI. Selain itu, Panitia Pembela Indonesia juga mengancam Inggris agar tidak membantu Belanda kembali ke Indonesia. “Jika Inggris membantu Belanda untuk kembali ke Indonesia, maka Inggris akan menuai kemarahan Dunia Islam di Timur Tengah!” ancam Salahuddin Pasya.
Sejarah telah menulis, Inggris tetap membela “kawan seakidah” bernama Belanda. Pasukan NICA membonceng Sekutu kembali ke Indonesia.
Pada 25 Oktober 1945, sejumlah ulama NU pimpinan KH. Wahid Hasyim bertemu dan mengeluarkan fatwa jihad fii sabilillah melawan penjajah. Fatwa ini bergema ke seluruh nusantara dan disambut dengan gegap gempita. Fatwa jihad inilah yang melatarbelakangi pertempuran 10 November 1945 di Surabaya (hingga kini 10 November diperingati sebagai hari Pahlawan di Indonesia). Untuk memompakan keberanian rakyat Surabaya, Bung Tomo lewat corong radio perlawanan – cikal bakal RRI – terus menerus mengingatkan para mujahid bahwa gerbang surga telah terbuka luas bagi mereka yang syahid.
Hanya semangat jihad dan keridhaan Allah SWT yang mampu membuat ribuan rakyat Surabaya berani melawan pasukan Sekutu bersenjata lengkap. Kedahsyatan pertempuran Surabaya bergema hingga ke Dunia Arab. Keberanian umat Islam Surabaya mengobarkan jihad melawan pasukan Sekutu yang habis mabuk kemenangan dalam Perang Dunia II, ditambah tewasnya satu Jenderal Sekutu – Malaby – di Surabaya, dirasakan oleh kaum Muslimin Timur Tengah sebagai bagian dari kemenangan Islam atas kaum kafir. Upaya perlawanan terhadap Inggris di Mesir pun kian membuncah. Di berbagai lapangan dan Masjid di Kairo, Mekkah, Baghdad, dan negeri-negeri Timur Tengah, dengan serentak umat Islam mendirikan sholat ghaib untuk arwah para syuhada di Surabaya.
Melihat fenomena itu, majalah TIME (25/1/46) dengan nada salib menakut-nakuti Barat dengan kebangkitan Nasionalisme-Islam di Asia dan Dunia Arab. “Kebangkitan Islam di negeri Muslim terbesar di dunia seperti di Indonesia akan menginspirasikan negeri-negeri Islam lainnya untuk membebaskan diri dari Eropa.” Dukungan negara-negara Islam di Timur Tengah terhadap kemerdekaan Indonesia tidak saja dilakukan dalam tingkat akar rumput, namun juga dalam dunia diplomasi. Dalam berbagai sidang di Perserikatan Bangsa-Bangsa, terlihat dengan jelas adanya perbedaan sikap antara negeri-negeri Muslim yang mendukung Indonesia dengan negeri-negeri salib yang memandang Indonesia masih bagian dari Belanda.
Di Mesir, sejak diketahui sebuah negeri Muslim bernama Indonesia memplokamirkan kemerdekaannya dari penjajah kafir, Ikhwanul Muslimin tanpa kenal lelah terus menerus memperlihatkan dukungannya. Selain menggalang opini umum lewat pemberitaan media, yang memberikan kesempatan luas kepada para mahasiswa Indonesia untuk menulis tentang kemerdekaan Indonesia di koran-koran lokal miliknya, berbagai acara tabligh akbar dan demonstrasi pun digelar. Para pemuda dan pelajar Mesir, juga kepanduan Ikhwan, dengan caranya sendiri berkali-kali mendemo Kedutaan Belanda di Kairo. Tidak hanya dengan slogan dan spanduk, aksi pembakaran, pelemparan batu, dan teriakan-teriakan permusuhan terhadap Belanda kerap dilakukan mereka. Kondisi ini membuat Kedutaan Belanda di Kairo ketakutan. Mereka dengan tergesa mencopot lambang negaranya dari dinding Kedutaan. Mereka juga menurunkan bendera merah-putih-biru yang biasa berkibar di puncak gedung, agar tidak mudah dikenali pada demonstran.
Kuatnya dukungan rakyat Mesir atas kemerdekaan RI, juga atas desakan dan lobi yang dilakukan para pemimpin Ikhwanul Muslimin, membuat pemerintah Mesir mengakui kedaulatan pemerintah RI atas Indonesia pada 22 Maret 1946. Inilah pertama kalinya suatu negara asing mengakui kedaulatan RI secara resmi. Dalam kacamata hukum internasional, lengkaplah sudah syarat Indonesia sebagai sebuah negara berdaulat. Bukan itu saja, secara resmi pemerintah Mesir juga memberikan bantuan lunak kepada pemerintah RI. Sikap Mesir ini memicu tindakan serupa dari negara-negara Timur Tengah.
Untuk menghaturkan rasa terima kasih, pemerintah Soekarno mengirim delegasi resmi ke Mesir pada tanggal 7 April 1946. Ini adalah delegasi pemerintah RI pertama yang ke luar negeri. Mesir adalah negara pertama yang disinggahi delegasi tersebut.
Tanggal 26 April 1946 delegasi pemerintah RI kembali tiba di Kairo. Beda dengan kedatangan pertama yang berjalan singkat, yang kedua ini lebih intens. Di Hotel Heliopolis Palace, Kairo, sejumlah pejabat tinggi Mesir dan Dunia Arab mendatangi delegasi RI untuk menyampaikan rasa simpati. Selain pejabat negara, sejumlah pemimpin partai dan organisasi juga hadir. Termasuk pemimpin Ikhwanul Muslimin Hasan al Banna dan sejumlah tokoh Ikhwan dengan diiringi puluhan pengikutnya. Setiap perkembangan yang terjadi di Indonesia, diikuti serius oleh setiap Muslim baik di Mesir maupun di Timur Tengah pada umumnya. Para mahasiswa Indonesia yang saat itu tengah berjuang di Mesir dengan jalan diplomasi revolusi, senantiasa menjaga kontak dengan Ikhwan.
Ketika Belanda melancarkan agresi Militer I (21 Juli 1947) atas Indonesia, para mahasiswa Indonesia di Mesir dan aktivis Ikhwan menggalang aksi pemboikotan terhadap kapal-kapal Belanda yang memasuki selat Suez. Walau Mesir terikat perjanjian 1888 yang memberi kebebasan bagi siapa saja untuk bisa lewat terusan Suez, namun keberanian para buruh Ikhwan yang menguasai Suez dan Port Said berhasil memboikot kapal-kapal Belanda. Motor-boat para ikhwan tersebut sengaja dipasangi bendera merah putih. Dukungan Ikhwan terhadap kemerdekaan Indonesia bukan sebatas dukungan formalitas, tapi dukungan yang didasari kesamaan iman dan Islam.
Itulah kuatnya dukungan umat Islam terhadap kemerdekaan RI. Kini ketika ada saudara kita di Palestina yang sedang didzalimi Yahudi Israel, maka bangsa Indonesia juga terus turut serta memperjuangkan Kemerdekaan Palestina. Dan pada akhirnya kebenaran akan mengalahkan kebatilan.
Referensi: Majalah Saksi – No. 21 Tahun VI, 18 Agustus 2004 dengan perubahan seperlunya…
Subscribe to:
Posts (Atom)